OBAT (BIOMEDIK FARMAKOLOGI)
By: Raden Sanjoyo – D3 Rekam Medis FMIPA Universitas Gadjah Mada
Halaman
1.
Obat
dan Peran Obat dalam Pelayanan Kesehatan
a.
Pengertian
Obat
b.
Bahan Obat / Bahan Baku
c.
Obat
Tradisional
d.
Penggolongan
Obat
e.
Peran
Obat
2.
Parameter-parameter
Farmakologi
a.
Farmakokinetika
b.
Farmakodinamika
3.
Macam-macam
Bentuk Obat dan Tujuan Penggunaannya
a.
Bentuk-bentuk
Obat serta Tujuan Penggunaannya
b. Cara Pemberian Obat serta Tujuan Penggunaannya
c.
Tabel Penggunaan
Bentuk Sediaan
4.
Terapi Obat pada
Pasien-pasien Khusus
a.
Terapi/Penggunaan
Obat pada Pasien Hamil
b.
Terapi/Penggunaan
Obat pada Pasien Menyusui
c.
Terapi/Penggunaan
Obat pada Pasien Anak
d.
Terapi/Penggunaan
Obat pada Pasien Lansia
e.
Terapi/Penggunaan
Obat pada Pasien Gangguan Ginjal dan Hati
5.
Penggolongan Obat pada Saluran Cerna
6.
Penggolongan Obat
pada Saluran Pernafasan
7.
Penggolongan Obat
pada Antibiotika
8.
Pengetahuan
Farmakologi (obat) bagi Rekam Medis
9.
REFERENSI
1.
Obat dan
Peran Obat dalam Pelayanan Kesehatan
a. Pengertian Obat
Menurut PerMenKes 917/Menkes/Per/x/1993, obat (jadi)
adalah sediaan atau paduan-paduan yang siap digunakan untuk mempengaruhi atau
menyelidiki secara fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan
diagnosa, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan
kontrasepsi.
Menurut Ansel (1985), obat adalah zat yang digunakan
untuk diagnosis, mengurangi rasa sakit, serta mengobati atau mencegah penyakit
pada manusia atau hewan.
Obat dalam arti luas ialah setiap zat kimia yang dapat
mempengaruhi proses hidup, maka farmakologi merupakan ilmu yang sangat luas
cakupannya. Namun untuk seorang dokter, ilmu ini dibatasi tujuannya yaitu agar
dapat menggunakan obat untuk maksud pencegahan, diagnosis, dan pengobatan
penyakit. Selain itu, agar mengerti bahwa penggunaan obat dapat mengakibatkan
berbagai gejala penyakit. (Bagian Farmakologi, Fakultas Kedokteran, Universitas
Indonesia)
Obat merupakan sediaan atau paduan bahan-bahan yang
siap untuk digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau
keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan,
pemulihan, peningkatan, kesehatan dan kontrasepsi (Kebijakan Obat Nasional,
Departemen Kesehatan RI, 2005).
Obat merupakan benda yang dapat digunakan untuk
merawat penyakit, membebaskan gejala, atau memodifikasi proses kimia dalam
tubuh.
Obat merupakan senyawa kimia selain makanan yang bisa
mempengaruhi organisme hidup, yang pemanfaatannya bisa untuk mendiagnosis,
menyembuhkan, mencegah suatu penyakit.
b. Bahan Obat /
Bahan Baku
Semua bahan, baik yang berkhasiat maupun yang tidak
berkhasiat, yang berubah maupun yang tidak berubah, yang digunakan dalam
pengolahan obat walaupun tidak semua
bahan tersebut masih terdapat di dalam produk ruahan. Produk ruahan merupakan
tiap bahan yang telah selesai diolah dan tinggal memerlukan pengemasan untuk
menjadi oabt jadi.
c. Obat Tradisional
Merupakan bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan
tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (gelenik) atau campuran
dari bahan tersebut yang secara turun menurun telah digunakan untuk pengobatan
berdasarkan pengalaman.
d. Penggolongan Obat
Obat digolongkan menjadi 4 golongan, yaitu:
1) Obat Bebas, merupakan obat yang ditandai dengan
lingkaran berwarna hijau dengan tepi lingkaran berwarna hitam. Obat bebas
umumnya berupa suplemen vitamin dan mineral, obat gosok, beberapa
analgetik-antipiretik, dan beberapa antasida. Obat golongan ini dapat dibeli
bebas di Apotek, toko obat, toko kelontong, warung.
2) Obat Bebas Terbatas, merupakan obat yang ditandai
dengan lingkaran berwarna biru dengan tepi lingkaran berwarna hitam. Obat-obat
yang umunya masuk ke dalam golongan ini antara lain obat batuk, obat influenza,
obat penghilang rasa sakit dan penurun panas pada saat demam
(analgetik-antipiretik), beberapa suplemen vitamin dan mineral, dan obat-obat
antiseptika, obat tetes mata untuk iritasi ringan. Obat golongan ini hanya
dapat dibeli di Apotek dan toko obat berizin.
3) Obat Keras, merupakan obat yang pada kemasannya
ditandai dengan lingkaran yang didalamnya terdapat huruf K berwarna merah yang
menyentuh tepi lingkaran yang berwarna hitam. Obat keras merupakan obat yang
hanya bisa didapatkan dengan resep dokter. Obat-obat yang umumnya masuk ke
dalam golongan ini antara lain obat jantung, obat darah tinggi/hipertensi, obat
darah rendah/antihipotensi, obat diabetes, hormon, antibiotika, dan beberapa
obat ulkus lambung. Obat golongan ini hanya dapat diperoleh di Apotek dengan
resep dokter.
4) Obat Narkotika, merupakan zat atau
obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintesis maupun semi
sintesis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya
rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan
ketergantungan (UURI No. 22 Th 1997 tentang Narkotika). Obat ini pada
kemasannya ditandai dengan lingkaran yang didalamnya terdapat palang (+)
berwarna merah.
Obat Narkotika bersifat adiksi dan
penggunaannya diawasi dengan ketet, sehingga obat golongan narkotika hanya
diperoleh di Apotek dengan resep dokter asli (tidak dapat menggunakan kopi
resep). Contoh dari obat narkotika antara lain: opium, coca, ganja/marijuana,
morfin, heroin, dan lain sebagainya. Dalam bidang kesehatan, obat-obat
narkotika biasa digunakan sebagai anestesi/obat bius dan analgetik/obat penghilang
rasa sakit.
e.
Peran
Obat
Obat merupakan salah satu komponen
yang tidak dapat tergantikan dalam pelayanan kesehatan. Obat berbeda dengan
komoditas perdagangan, karena selain merupakan komoditas perdagangan, obat juga
memiliki fungsi sosial. Obat berperan sangat penting dalam pelayanan kesehatan
karena penanganan dan pencegahan berbagai penyakit tidak dapat dilepaskan dari
tindakan terapi dengan obat atau farmakoterapi. Seperti yang telah dituliskan
pada pengertian obat diatas, maka peran obat secara umum adalah sebagai
berikut:
1) Penetapan diagnosa
2) Untuk pencegahan penyakit
3) Menyembuhkan penyakit
4) Memulihkan (rehabilitasi)
kesehatan
5) Mengubah fungsi normal tubuh untuk
tujuan tertentu
6) Peningkatan kesehatan
7) Mengurangi rasa sakit
2. Parameter-parameter Farmakologi
a.
Farmakokinetik
Farmakokinetika merupakan aspek
farmakologi yang mencakup nasib obat dalam tubuh yaitu absorbsi, distribusi,
metabolisme, dan ekskresinya (ADME). Obat
yang masuk ke dalam tubuh melalui berbagai cara pemberian umunya mengalami
absorpsi, distribusi, dan pengikatan untuk sampai di tempat kerja dan
menimbulkan efek. Kemudian dengan atau tanpa biotransformasi, obat diekskresi
dari dalam tubuh. Seluruh proses ini disebut dengan proses farmakokinetika dan
berjalan serentak seperti yang terlihat pada gambar 1.1 dibawah ini.
1)
Absorpsi dan
Bioavailabilitas Kedua istilah tersebut tidak sama artinya. Absorpsi, yang
merupakan proses penyerapan obat dari tempat pemberian, menyangkut kelengkapan
dan kecepatan proses tersebut. Kelengkapan dinyatakan dalam persen dari jumlah
obat yang diberikan. Tetapi secara klinik, yang lebih penting ialah
bioavailabilitas. Istilah ini menyatakan jumlah obat, dalam persen terhadap
dosis, yang mencapai sirkulasi sistemik dalam bentuk utuh/aktif. Ini terjadi
karena untuk obat-obat tertentu, tidak semua yang diabsorpsi dari tempat
pemberian akan mencapai sirkulasi sestemik. Sebagaian akan dimetabolisme oleh
enzim di dinding ususpada pemberian oral dan/atau di hati pada lintasan
pertamanya melalui organ-organ tersebut. Metabolisme ini disebut metabolisme
atau eliminasi lintas pertama (first pass metabolism or elimination)
atau eliminasi prasistemik. Obat demikian mempunyai bioavailabilitas oral yang
tidak begitu tinggi meskipun absorpsi oralnya mungkin hampir sempurna. Jadi
istilah bioavailabilitas menggambarkan kecepatan dan kelengkapan absorpsi
sekaligus metabolisme obat sebelum mencapai sirkulasi sistemik. Eliminasi
lintas pertama ini dapat dihindari atau dikurangi dengan cara pemberian parenteral
(misalnya lidokain), sublingual (misalnya nitrogliserin), rektal, atau
memberikannya bersama makanan.
2)
Distribusi
Setelah diabsorpsi, obat akan didistribusi ke seluruh tubuh melalui sirkulasi
darah. Selain tergantung dari aliran darah, distribusi obat juga ditentukan
oleh sifat fisikokimianya. Distribusi obat dibedakan atas 2 fase berdasarkan
penyebarannya di dalam tubuh. Distribusi fase pertama terjadi segera setelah
penyerapan, yaitu ke organ yang perfusinya sangat baik misalnya jantung, hati,
ginjal, dan otak. Selanjutnya, distribusi fase kedua jauh lebih luas yaitu
mencakup jaringan yang perfusinya tidak sebaik organ di atas misalnya otot,
visera, kulit, dan jaringan lemak. Distribusi ini baru mencapai keseimbangan
setelah waktu yang lebih lama. Difusi ke ruang interstisial jaringan terjadi
karena celah antarsel endotel kapiler mampu melewatkan semua molekul obat
bebas, kecuali di otak. Obat yang mudah larut dalam lemak akan melintasi
membran sel dan terdistribusi ke dalam otak, sedangkan obat yang tidak larut
dalam lemak akan sulit menembus membran sel sehingga distribusinya terbatas
terurama di cairan ekstrasel. Distribusi juga dibatasi oleh
3)
Biotransformasi /
Metabolisme Biotransformasi atau metabolisme obat ialah proses perubahan
struktur kimia obat yang terjadi dalam tubuh dan dikatalis oleh enzim. Pada
proses ini molekul obat diubah menjadi lebih polar, artinya lebih mudah larut
dalam air dan kurang larut dalam lemak sehingga lebih mudah diekskresi melalui
ginjal. Selain itu, pada umumnya obat menjadi inaktif, sehingga biotransformasi
sangat berperan dalam mengakhiri kerja obat. Tetapi, ada obat yang metabolitnya
sama aktif, lebih aktif, atau tidak toksik. Ada obat yang merupakan calon obat
(prodrug) justru diaktifkan oleh enzim biotransformasi ini. Metabolit
aktif akan mengalami biotransformasi lebih lanjut dan/atau diekskresi sehingga
kerjanya berakhir.
Enzim yang berperan dalam biotransformasi obat dapat
dibedakan berdasarkan letaknya dalam sel, yakni enzim mikrosom yang terdapat
dalam retikulum endoplasma halus (yang pada isolasi in vitro membentuk
mikrosom), dan enzim non-mikrosom. Kedua macam enzim metabolisme ini terutama
terdapat dalam sel hati, tetapi juga terdapat di sel jaringan lain misalnya
ginjal, paru, epitel, saluran cerna, dan plasma
4)
Ekskresi
Obat dikeluarkan dari tubuh melalui berbagai organ
ekskresi dalam bentuk metabolit hasil biotransformasi atau dalam bentuk
asalnya. Obat atau metabolit polar diekskresi lebih cepat daripada obat larut
lemak, kecuali pada ekskresi melalui paru. Ginjal merupakan organ ekskresi yang
terpenting. Ekskresi disini merupakan resultante dari 3 proses, yakni filtrasi di glomerulus,
sekresi aktif di tubuli proksimal, dan rearbsorpsi pasif di tubuli proksimal
dan distal. Ekskresi obat melalui
ginjal menurun pada gangguan fungsi ginjal sehingga dosis perlu diturunkan atau
intercal pemberian diperpanjang. Bersihan kreatinin dapat dijadikan patokan
dalam menyesuaikan dosis atau interval pemberian obat. Ekskresi obat juga terjadi
melalui keringat, liur, air mata, air susu, dan rambut, tetapi dalam jumlah
yang relatif kecil sekali sehingga tidak berarti dalam pengakhiran efek obat.
Liur dapat digunakan sebagai pengganti darah untuk menentukan kadar obat
tertentu. Rambut pun dapat digunakan untuk menemukan logam toksik, misalnya
arsen, pada kedokteran forensik.
b.
Farmakodinamika
Farmakodinamika mempelajari efek obat terhadap
fisiologi dan biokimia berbagai organ tubuh serta mekanisme kerjanya. Tujuan
mempelajari mekanisme kerja obat ialah untuk meneliti efek utama obat,
mengetahui interaksi obat dengan sel, dan mengetahui urutan peristiwa serta
spektrum efek dan respon yang terjadi. Pengetahuan yang baik mengenai hal ini
merupakan dasar terapi rasional dan berguna dalam sintesis obat baru.
1)
Mekanisme Kerja
Obat
Efek obat umumnya timbul karena interaksi obat dengan
reseptor pada sel suatu organisme. Interaksi obat dengan reseptornya ini
mencetuskan perubahan biokimiawi dan fisiologi yang merupakan respons khas
untuk obat tersebut. Reseptor obat merupakan komponen makromolekul fungsional
yang mencakup 2 konsep penting. Pertama, bahwa obat dapat mengubah kecepatan
kegiatan faal tubuh. Kedua, bahwa obat tidak menimbulkan suatu fungsi baru,
tetapi hanya memodulasi fungsi yang sudah ada. Walaupun tidak berlaku bagi
terapi gen, secara umum konsep ini masih berlaku sampai sekarang. Setiap
komponen makromolekul fungsional dapat berperan sebagai reseptor obat, tetapi
sekelompok reseptor obat tertentu juga berperan sebagai reseptor yang ligand
endogen (hormon, neurotransmitor). Substansi yang efeknya menyerupai senyawa
endogen disebut agonis. Sebaliknya, senyawa yang tidak mempunyai aktivitas
intrinsik tetapi menghambat secara kompetitif efek suatu agonis di tempat
ikatan agonis (agonist binding site) disebut antagonis.
2)
Reseptor Obat
Struktur kimia suatu obat berhubunga dengan
afinitasnya terhadap reseptor dan aktivitas intrinsiknya, sehingga perubahan
kecil dalam molekul obat, misalnya perubahan stereoisomer, dapat menimbulkan
perubahan besar dalam sidat farmakologinya. Pengetahuan mengenai hubungan
struktur aktivitas bermanfaat dalam strategi pengembangan obat baru, sintesis
obat yang rasio terapinya lebih baik, atau sintesis obat yang selektif terhadap
jaringan tertentu. Dalam keadaan tertentu, molekul reseptor berinteraksi secara
erat dengan protein seluler lain membentuk sistem reseptor-efektor sebelum menimbulkan
respons.
3)
Transmisi Sinyal
Biologis
Penghantaran sinyal biologis ialah proses yang
menyebabkan suatu substansi ekstraseluler (extracellular chemical messenger)
menimbulkan suatu respons seluler fisiologis yang spesifik. Sistem hantaran ini
dimulai dengan pendudukan reseptor yang terdapat di membran sel atau di dalam
sitoplasmaoleh transmitor. Kebanyakan messenger ini bersifat polar.
Contoh, transmitor untuk reseptor yang terdapat di membran sel ialah
katekolamin, TRH, LH. Sedangkan untuk reseptor yang terdapat dalam sitoplasma
ialah steroid (adrenal dan gonadal), tiroksin, vit. D.
4)
Interaksi Obat-Reseptor
Ikatan antara obat dan reseptor misalnya ikatan
substrat dengan enzim, biasanya merupakan ikatan lemah (ikatan ion, hidrogen,
hidrofobik, van der Waals), dan jarang berupa ikatan kovalen.
5)
Antagonisme
Farmakodinamika Secara farmakodinamika dapat dibedakan 2 jenis antagonisme,
yaitu antagonisme fisiologik dan antagonisme pada reseptor. Selain itu, antagonisme
pada reseptor dapat bersifat kompetitif atau nonkompetitif. Antagonisme
merupakan peristiwa pengurangan atau penghapusan efek suatu obat oleh obat
lain. Peristiwa ini termasuk interaksi obat. Obat yang menyebabkan pengurangan
efek disebut antagonis, sedang obat yang efeknya dikurangi atau ditiadakan
disebut agonis. Secara umum obat yang efeknya dipengaruhi oleh obat lain
disebut obat objek, sedangkan obat yang mempengaruhi efek obat lain disebut
obat presipitan.
6)
Kerja Obat yang
tidak Diperantarai Reseptor
Dalam menimbulkan efek, obat tertentu tidak berikatan
dengan reseptor. Obat-obat ini mungkin mengubah sifat cairan tubuh,
berinteraksi dengan ion atau molekul kecil, atau masuk ke komponen sel.
7)
Efek Obat
Efek obat yaitu perubahan fungsi struktur
(organ)/proses/tingkah laku organisme hidup akibat kerja obat.
3.
Macam-macam
Bentuk Obat dan Tujuan Penggunaannya
Bentuk-bentuk obat serta tujuan penggunaannya antara
lain adalah sebagai berikut:
a. Pulvis (Serbuk)
Merupakan campuran kering bahan obat atau zat kimia
yang dihaluskan, ditujukan untuk pemakaian oral atau untuk pemakaian luar.
b. Pulveres
Merupakan serbuk yang dibagi dalam bobot yang lebih
kurang sama, dibungkus menggunakan bahan pengemas yang cocok untuk sekali
minum.
c. Tablet (Compressi)
Merupakan sediaan padat kompak dibuat secara kempa
cetak dalam bentuk tabung pipih atau sirkuler kedua permukaan rata atau cembung
mengandung satu jenis obat atau lebih dengan atau tanpa bahan tambahan.
§
Tablet Kempa
paling banyak digunakan, ukuran dapat
bervariasi, bentuk serta penandaannya tergantung design cetakan
§
Tablet Cetak
dibuat dengan memberikan tekanan rendah
pada massa lembab dalam lubang cetakan.
§
Tablet Trikurat
tablet kempa atau cetak bentuk kecil
umumnya silindris. Sudah jarang ditemukan
§
Tablet Hipodermik
dibuat dari bahan
yang mudah larut atau melarut sempurna dalam air. Dulu untuk membuat sediaan
injeksi hipodermik, sekarang diberikan secara oral.
§
Tablet Sublingual
dikehendaki efek
cepat (tidak lewat hati). Digunakan dengan meletakkan tablet di bawah lidah.
§
Tablet Bukal
digunakan dengan meletakkan di antara
pipi dan gusi.
§
Tablet Efervescen
tablet larut dalam
air. Harus dikemas dalam wadah tertutup rapat atau kemasan tahan lembab. Pada
etiket tertulis “tidak untuk langsung ditelan”.
§
Tablet Kunyah
cara penggunaannya dikunyah. Meninggalkan
sisa rasa enak di rongga mulut, mudah ditelan, tidak meninggalkan rasa pahit,
atau tidak enak.
d. Pilulae (PIL) Merupakan bentuk sediaan padat bundar
dan kecil mengandung bahan obat dan dimaksudkan untuk pemakaian oral. Saat ini
sudah jarang ditemukan karena tergusur tablet dan kapsul. Masih banyak
ditemukan pada seduhan jamu.
e. Kapsulae (Kapsul)
Merupakan sediaan padat yang terdiri dari obat dalam
cangkang keras atau lunak yang dapat larut. Keuntungan/tujuan sediaan kapsul
yaitu:
§
Menutupi bau dan
rasa yang tidak enak
§
Menghindari
kontak langsung dengan udara dan sinar matahari
§
Lebih enak
dipandang
§
Dapat untuk 2
sediaan yang tidak tercampur secara fisis (income fisis), dengan
pemisahan antara lain menggunakan kapsul lain yang lebih kecil kemudian
dimasukkan bersama serbuk lain ke dalam kapsul yang lebih besar.
i.
Mudah ditelan.
f. Solutiones (Larutan)
Merupakan sediaan cair yang mengandung satu atau lebih
zat kimia yang dapat larut, biasanya dilarutkan dalam air, yang karena
bahan-bahannya, cara peracikan atau penggunaannya, tidak dimasukkan dalam
golongan produk lainnya (Ansel). Dapat juga dikatakan sediaan cair yang
mengandung satu atau lebih zat kimia yang larut, misalnya terdispersi secara
molekuler dalam pelarut yang sesuai atau campuran pelarut yang saling
bercampur. Cara penggunaannya yaitu larutan oral (diminum) dan larutan topikal
(kulit).
g. Suspensi
Merupakan sediaan cair yang mengandung partikel padat
tidak larut terdispersi dalam fase cair. Macam suspensi antara lain: suspensi
oral (juga termasuk susu/magma),
suspensi topikal (penggunaan pada kulit), suspensi tetes telinga (telinga
bagian luar), suspensi optalmik, suspensi sirup kering.
h. Emulsi
Merupakan sediaan berupa campuran dari dua fase cairan
dalam sistem dispersi, fase cairan yang satu terdispersi sangat halus dan
merata dalam fase cairan lainnya, umumnya distabilkan oleh zat pengemulsi.
i.
Galenik
Merupakan sediaan yang dibuat dari bahan baku yang
berasal dari hewan atau tumbuhan yang disari.
j.
Extractum
Merupakan sediaan pekat yang diperoleh dengan
mengekstraksi zat dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan
pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan
massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian sehingga memenuhi baku
yang ditetapkan.
k. Infus
Merupakan sediaan cair yang dibuat dengan
mengekstraksi simplisia nabati dengan air pada suhu 900 C
selama 15 menit.
l.
Immunosera
(Imunoserum)
Merupakan sediaan yang mengandung Imunoglobin khas
yang diperoleh dari serum hewan dengan pemurnian. Berkhasiat menetralkan toksin
kuman (bisa ular) dan mengikat kuman/virus/antigen.
m. Unguenta (Salep)
Merupakan sediaan setengah padat ditujukan untuk
pemakaian topikal pada kulit atau selaput lendir. Dapat juga dikatakan sediaan
setengah padat yang mudah dioleskan dan digunakan sebagai obat luar. Bahan obat
harus larut atau terdispersi homogen dalam dasar salep yang cocok.
n. Suppositoria Merupakan sediaan padat dalam berbagai
bobot dan bentuk, yang diberikan melalui rektal, vagina atau uretra, umumnya
meleleh, melunak atau melarut pada suhu tubuh. Tujuan pengobatan yaitu:
§
Penggunaan lokal
memudahkan defekasi serta mengobati
gatal, iritasi, dan inflamasi karena hemoroid.
§
Penggunaan
sistemik aminofilin dan
teofilin untuk asma, chlorprozamin untuk anti muntah, chloral hydrat untuk
sedatif dan hipnotif, aspirin untuk analgenik antipiretik.
o. Guttae (Obat Tetes)
Merupakan sediaan cairan berupa larutan, emulsi, atau
suspensi, dimaksudkan untuk obat dalam atau obat luar, digunakan dengan cara
meneteskan menggunakan penetes yang menghasilkan tetesan setara dengan tetesan
yang dihasilkan penetes beku yang disebutkan Farmacope Indonesia. Sediaan obat
tetes dapat berupa antara lain: Guttae (obat dalam), Guttae Oris (tets mulut),
Guttae Auriculares (tetes telinga), Guttae Nasales (tetes hidung), Guttae
Ophtalmicae (tetes mata).
p. Injectiones (Injeksi)
Merupakan sediaan steril berupa larutan, emulsi atau
suspensi atau serbuk yang harus dilarutkan atau disuspensikan lebih dahulu
sebelum digunakan, yang disuntikkan dengan cara merobek jaringan ke dalam kulit
atau melalui kulit atau selaput lendir. Tujuannya yaitu kerja obat cepat serta
dapat diberikan pada pasien yang tidak dapat menerima pengobatan melalui mulut.
Cara pemberian obat serta tujuan penggunaannya adalah
sebagai berikut:
a. Oral Obat yang cara penggunaannya masuk melalui mulut.
Keuntungannya relatif aman, praktis, ekonomis. Kerugiannya timbul efek lambat;
tidak bermanfaat untuk pasien yang sering muntah, diare, tidak sadar, tidak kooperatif; untuk obat iritatif
dan rasa tidak enak penggunaannya terbatas; obat yang inaktif/terurai oleh
cairan lambung/ usus tidak bermanfaat (penisilin G, insulin); obat absorpsi
tidak teratur. Untuk tujuan terapi serta
efek sistematik yang dikehendaki, penggunaan oral adalah yang paling
menyenangkan dan murah, serta umumnya paling aman. Hanya beberapa obat yang
mengalami perusakan oleh cairan lambung atau usus. Pada keadaan pasien
muntah-muntah, koma, atau dikehendaki onset yang cepat, penggunaan obat melalui
oral tidak dapat dipakai.
b. Sublingual
Cara penggunaannya, obat ditaruh dibawah lidah.
Tujuannya supaya efeknya lebih cepat karena pembuluh darah bawah lidah
merupakan pusat sakit. Misal pada kasus pasien jantung. Keuntungan cara ini
efek obat cepat serta kerusakan obat di saluran cerna dan metabolisme di
dinding usus dan hati dapat dihindari (tidak lewat vena porta)
c. Inhalasi
Penggunaannya dengan cara disemprot (ke mulut). Misal
obat asma. Keuntungannya yaitu absorpsi terjadi cepat dan homogen, kadar obat
dapat dikontrol, terhindar dari efek lintas pertama, dapat diberikan langsung
pada bronkus. Kerugiannya yaitu, diperlukan alat dan metoda khusus, sukar
mengatur dosis, sering mengiritasi epitel paru – sekresi saluran nafas,
toksisitas pada jantung. Dalam inhalasi, obat dalam keadaan gas atau uap yang
akan diabsorpsi sangat cepat melalui alveoli paru-paru dan membran mukosa pada
perjalanan pernafasan.
d. Rektal
Cara penggunaannya melalui dubur atau anus. Tujuannya
mempercepat kerja obat serta sifatnya lokal dan sistemik. Obat oral sulit/tidak
dapat dilakukan karena iritasi lambung, terurai di lambung, terjadi efek lintas
pertama. Contoh, asetosal, parasetamol, indometasin, teofilin, barbiturat.
e. Pervaginam
Bentuknya hampir sama dengan obat rektal, dimasukkan
ke vagina, langsung ke pusat sasar. Misal untuk keputihan atau jamur.
f. Parentral Digunakan tanpa melalui mulut, atau dapat
dikatakan obat dimasukkan de dalam tubuh selain saluran cerna. Tujuannya tanpa
melalui saluran pencernaan dan langsung ke pembuluh darah. Misal suntikan atau
insulin. Efeknya biar langsung sampai sasaran. Keuntungannya yaitu dapat untuk
pasien yang tidak sadar, sering muntah, diare, yang sulit menelan/pasien yang
tidak kooperatif; dapat untuk obat yang mengiritasi lambung; dapat menghindari
kerusakan obat di saluran cerna dan hati; bekerja cepat dan dosis ekonomis.
Kelemahannya yaitu kurang aman, tidak disukai pasien, berbahaya (suntikan –
infeksi). Istilah injeksi termasuk semua
bentuk obat yang digunakan secara parentral, termasuk infus. Injeksi dapat
berupa larutan, suspensi, atau emulsi. Apabila obatnya tidak stabil dalam
cairan, maka dibuat dalam bentuk kering. Bila mau dipakai baru ditambah aqua
steril untuk memperoleh larutan atau suspensi injeksi.
g. Topikal/lokal
Obat yang sifatnya lokal. Misal tetes mata, tetes
telinga, salep.
h. Suntikan
Diberikan bila obat tidak diabsorpsi di saluran cerna
serta dibutuhkan kerja cepat.
Tabel Penggunaan Bentuk Sediaan
Cara Pemberian
|
Bentuk Sediaan Utama
|
Oral
|
Tablet, kapsul,
larutan (sulotio), sirup, eliksir, suspensi, magma, jel, bubuk
|
Sublingual
|
Tablet,
trokhisi dan tablet hisap
|
Parentral
|
Larutan,
suspensi
|
Epikutan/transdermal
|
Salep, krim,
pasta, plester, bubuk, erosol, latio, tempelan transdermal, cakram, larutan,
dan solutio
|
Konjungtival
|
Salep
|
Introakular/intraaural
|
Larutan,
suspensi
|
Intranasal
|
Larutan,
semprot, inhalan, salep
|
Intrarespiratori
|
Erosol
|
Rektal
|
Larutan, salep,
supositoria
|
Vaginal
|
Larutan, salep,
busa-busa emulsi, tablet, sisipan, supositoria, spon
|
Uretral
|
Larutan,
supositoria
|
Terapi
Obat Pada Pasien-pasien Khusus
Farmakoterapi merupakan cabang ilmu farmakologi yang
mempelajari obat untuk mencegah, menegakkan diagnostik, menyembuhkan penyakit,
memulihkan (rehabilitasi) kesehatan, namun juga untuk mencegah fungsi normal
tubuh untuk tujuan tertentu (misal: penggunaan obat-obat KB, anastetika umum
(hilangnya kesadaran dan respon aktif (nyeri), fisiologi berubah, sehingga
dioperasi tidak sakit)). Tujuan terapi adalah untuk menyembuhkan, mengurangi
rasa sakit, menghindari komplikasi, serta memperpanjang masa hidup.
a. Terapi/penggunaan Obat pada Pasien Hamil.
Penggunaan obat dapat mengakibatkan kecacatan pada
bayi atau mempengaruhi janin, apabila obat yang dikonsumsi oleh ibu hamil
tembus ke placenta. Obat hanya
diresepkan pada wanita hamil bila manfaat yang diperoleh ibu diharapkan lebih
besar dibanding resiko pada janin. Sedapat
mungkin dihindari penggunaan segala jenis obat pada trimester pertama kehamilan
Bila menggunakan obat saat hamil, maka harus dipilih obat yang paling aman.
Obat harus diresepkan pada dosis efektif yang terendah dan untuk jangka waktu
pemakaian yang sesingkat mungkin.
b. Terapi/penggunaan Obat pada Pasien Menyusui
Obat yang diminum ibu menyusui dapat menembus air susu
sehingga diminum/terminum oleh bayi. Misal, wanita gondok
minum obat menyusui tidak dihentikan
anak kerdil Sedapat mungkin menghindari
penggunaan obat pada wanita yang menyusui atau menghentikan pemberian air susu
ibu (ASI) jika pemakaian obat harus dilanjutkan. Jika penggunaan obat
diperlukan, pakailah obat dengan efek samping teraman, terutama obat-obatan
yang memiliki ijin untuk digunakan pada bayi. Apabila menggunakan obat selama
menyusui, maka bayi harus dipantau secara cermat terhadap efek samping yang
mungkin terjadi. Mungkin dapat dianjurkan kepada ibu untuk meminum obat segera
setelah menyusui.
c. Terapi/penggunaan Obat pada Pasien Anak
Obat pada anak dapat berpengaruh karena organ-organ
pada anak belum sempurna pertumbuhannya, sehingga obat dapat menjadi racun
dalam darah (mempengaruhi organ hati dan ginjal). Pada hati, enzim-enzim belum
terbentuk sempurna, sehingga obat tidak termotabolisme dengan baik,
mengakibatkan konsentrasi obat yang tinggi di tubuh anak. Pada ginjal, bayi berumur
6 bulang, ginjal belum belum efisien mensekresikan obat sehingga mengakibatkan
konsentrasi yang tinggi di darah anak.
Dalam pengobatan, anak-anak tidak dapat diperlakukan
sebagai orang dewasa berukuran kecil. Penggunaan obat pada anak merupakan hal yang
bersifat khusus yang berkaitan dengan perbedaan laju perkembangan organ, sistem
dalam tubuh maupun enzim yang bertanggungjawab terhadap metabolisme dan
ekskresi obat.
Farmakokinetika pada anak-anak berbeda dengan orang
dewasa. Dengan memahami perbedaan tersebut akan membantu farmasis klinis dalam
membuat keputusan yang berkaitan dengan dosis, misalnya dalam pengusulan dosis
(mg/kg) maupun frekuensi pemberian obat yang berbeda antara anak-anak dengan
orang dewasa.
Dosis bagi anak-anak sering sulit untuk ditentukan.
Pemanfaatan pengalaman klinis merupakan acuan terbaik dalam menentukan dosis
yang paling sesuai untuk bayi maupun anak-anak.
Pemakaian obat yang belum mempunyai ijin untuk
digunakan pada anak, walaupun sering dijumpai, harus dipantau secara ketat
untuk memastikan bahwa keamanan pasien diutamakan. Penyuluhan kepada pasien
anak-anak maupun pengasuhnya dalam bahasa yang mudah dimengerti akan membantu
meningkatkan kepatuhan anak terhadap pengobatan.
d. Terapi/penggunaan Obat pada Pasien Lansia
Terdapat perubahan-perubahan fungsi, kemampuan organ
menurun, dosis dalam darah meningkat sehingga menjadi racun, serta laju darah
dalam ginjal menurun.
Proses penuaan akan mengakibatkan terjadinya beberapa
perubahan fisiologi, anatomi, psikologi, dan sosiologi. Perubahan fisiologi
yang terkait usia dapat menyebabkan perubahan yang bermakna dalam
penatalaksanaan obat. Farmasis sebaiknya perlu memiliki pengetahuan menyeluruh
tentang perubahan-perubahan farmakokinetik dan farmakodinamik yang muncul.
Peresepan yang tidak tepat dan polifarmasi merupakan
problem utama dalam terapi dengan obat pada pasien lanjut usia. Keahlian klinis
farmasis, termasuk evaluasi terhadap pengobatan, dapat digunakan untuk
memperbaiki pelayanan dalam bidang ini.
Tujuan terapi obat pada pasien lanjut usia harus
ditetapkan dalam rangka mengoptimalkan hasil terapi. Perbaikan kualitas hidup,
titrasi dosis, pemilihan obat, dan bentuk sediaan obat yang tepat serta
pengobatan penyebab penyakit bukan sekedar gejalanya merupakan semua tindakan
yang sangat diperlukan.
Efek samping obat lebih sering terjadi pada populasi
lanjut usia. Pasien lanjut usia tiga kali lebih beresiko masuk rumah sakit
akibat efek samping obat. Hal ini berpengaruh secara bermakna terhadap segi
finansial seperti halnya implikasi teraupetik.
Kepatuhan penggunaan obat sering kali mengalami
penurunan karena beberapa gangguan pada lanjut usia. Kesulitan dalam hal
membaca, bahasa, mendengar dan ketangkasan, semuanya dapat berperan dalam
masalah ini.
Terapi/penggunaan Obat pada Pasien
Gangguan Ginjal dan Hati
Terjadi karena karena terjadi
penurunan fungsi hati dan ginjal. Uji fungsi ginjal hanya menggambarkan
penyakit secara kasar/garis besar, dan lebih dari setengah bagian ginjal harus
mengalami kerusakan sebelum terlihat nyata bukti kejadiannya gangguan ginjal.
Bentuk gangguan ginjal yang paling sering diakibatkan oleh obat adalah
interstitial nefritis dan glomerulonefritis. Penggunaan obat apa pun yang diketahui
berpotensi menimbulkan nephrotoksisitas sedapat mungkin harus dihindari pada
semua penderita gangguan ginjal.
Pada gagal ginjal, distribusi obat
dapat berubah karena terjadi fluktuasi derajat hidrasi atau oleh adanya
perubahan pada ikatan protein. Akan tetapi perubahan ikatan protein akan
bermakna secara klinis apabila:
·
Lebih
dari 90% jumlah obat dalam plasma merupakan bentuk terikat protein.
·
Obat
terdistribusi ke jaringan harus dalam jumlah yang kecil.
Ekskresi adalah parameter
farmakokinetika yang paling terpengaruh oleh gangguan ginjal. Jika filtrasi
glomeruler terganggu oleh penyakit ginjal , maka klirens obat yang terutama
tereliminasi melalui mekanisme ini akan menurun dan waktu paruh obat dalam
plasma menjadi lebih panjang.
Penderita dengan ginjal yang tidak
berfungsi normal dapat menjadi lebih peka terhadap beberapa obat, bahkan jika
eliminasinya tidak terganggu. Anjuran dosis didasarkan pada tingkat keparahan
gangguan ginjal, yang biasanya dinyatakan dalam istilah laju filtrasi glomeruler
(LFG). Perubahan dosis yang paling sering dilakukan adalah dengan menurunkan
dosis atau memperpanjang interval pemberian obat, atau kombinasi keduanya.
5. Penggolongan Obat pada Saluran
Pencernaan
a.
Antitukak
Tukak lambung adalah suatu kondisi
patologis pada lambung, deudenum, esofagus bagian bawah, dan stoma
gastroenterostomi (setelah bedah lambung).
Tujuan terapi tukak lambung adalah
meringankan atau menghilangkan gejala, mempercepat penyembuhan, mencegah komplikasi
yang serius (hemoragi, perforasi, obstruksi), dan mencegah kambuh.
Golongan dari Antitukak adalah
sebagai berikut:
b.
Antispasmodik
Antispasmodik merupakan dolongan obat yang memiliki
sifat sebagai relaksan otot polos. Termasuk dalam kelas ini adalah senyawa yang
memiliki efek antikolinergik (lebih tepatnya antimuskarinik) dan antagonis
reseptor-dopamin tertentu. Golongan dari Antipasmodik adalah sebagai berikut: