RSS Feed

Friday, April 23, 2010

Identifikasi Sifat Fisika Pada Emulsi

I. PENDAHULUAN

I.1 Dasar Teori

Emulsi adalah suatu sediaan yang mengandung dua zat yang tidak dapat bercampur, biasanya minyak dan air yang stabilitasnya dapat dipertahankan dengan emulgator atau zat pengelmusi. Emulsi yang mempunyai fase dalam minyak dan fase luar air disebut emulsi minyak-dalam-air dan biasanya diberi tanda sebagai emulsi “M/A”. Sebaliknya emulsi yang mempunyai fase dalam air dan fase luar minyak disebut emulsi air-dalam-minyak dan diberi tanda sebagai emulsi “A/M”.

Tujuan Emulsi :

Secara farmasetik, proses emulsifikasi memungkinkan para ahli farmasi dapat membuat suatu preparat yang stabil dan rata dari campuaran dua cairan yang tidak dapat saling bercampur.

Untuk emulsi yang diberikan secara oral, tipe emulsi minyak-dalam-air memungkinkan pemberian obat yang harus dimakan tsb memiliki rasa enak dengan menambahkan pemanis dan pemberi rasa pada pembawa airnya, sehingga mudah dimakan dan ditelan sampai ke lambung. Ukuran partikel yang diperkecil dari bola-bola minyak dapat mempertahankan minyak tersebut agar mudah diabsorbsi, lebih efektif kerjanya, seperti meningkatkan efikasi minyak mineral sebagai katartik bila diberikan dalam bentuk emulsi.

Emulsi yang dipakai pada kulit sebagai obat luar biasa dibuat dalam bentuk M/A atau A/M, tergantung pada faktor-faktor, seperti sifat zat terapeutik yang akan dimasukkan dalam emulsi, keinginan untuk mendapatkan efek emolien atau pelembut jaringan dari preparat tersebut, dan keadaan permukaan kulit.

Pada kulit yang tidak luka, emulsi A/M biasanya dapat dipakai lebih merata karena kulit dilapisi oleh lapisan tipis dari sabun dan permukaan ini lebih mudah dibasahi oleh minyak daripada oleh air. Emulsi A/M lebih lembut di kulit, karena mencegah mengeringnya kulit dan tidak mudah hilang bila kena air. Sebaliknya bila diinginkan preparat yang mudah hilang bila terkena air, dapat digunakan emulsi M/A.

Teori Emulsi :

1. Teori tegangan permukaan

Suatu molekul memiliki tegangan yang berbeda. Tegangan yang terjadi pada permukaan disebut tegangan permukaan. Dan tegangan yang terjadi antara dua zat yang tidak bercampur disebut tegangan bidang atas. Semakin tinggi tegangan yang dimiliki, semakin sulit untuk bercampur. Tegangan yang terjadi pada air dapat bertambah bila diberi garam-garam an-organik dan larutan-larutan elektrolit. Namun, tegangan ini dapat dikurangi bila ditambahkan senyawa-senyawa an-organik tertentu, seperti sabun (sapo, prosesnya disebut saponifikasi).
Penambahan emulgator, dapat menghilangkan tegangan yang terjai pada masing-masing molekul, sehingga dua zat yang tidak dapat bercampur menjadi tercampur.

2. Teori Oriented Wedge

Dalam suatu sistem yang mengandung dua cairan yang tidak saling bercampur, zat pengemulsi akan memilih larut dalam salah satu fase dan terikat kuat dalam fase tersebut dibandingkan dengan fase lainnya. Karena umumnya, emulgator memiliki suatu bagian hidrofilik (suka air) dan hidrofobik (tidak suka air, tapi biasanya lipofilik atau suka minyak) molekul-molekul tersebut akan mengarahkan dirinya ke masing-masing fase. Dengan demikian emulgator seolah menjadi tali pengikat antar molekul, sehingga terjadi suatu kesetimbangan.

3. Teori Interparsial Film

Emulgator akan diserap pada batas antara air dan minyak, sehingga terbentuk lapisan film yang akan membungkus partikel dispersi. Dengan terbungkusnya partikel tersebut, maka usaha antara partikel yang sejenis untuk bergabung terhalang. Dengan kata lain fase dispers stabil.
Syarat emulgatornya : Dapat membentuk lapisan film kuat tapi lunak, jumlahnya cukup untuk menutup permukaan fase dispers, dapat membentuk lapisan film dengan cepat, menutup permukaan partikel dengan segera.

4. Teori Electric double Layer (Lapisan Listrik Rangkap)

Jika minyak terdispersi dalam air, satu lapis air yang langsung berhubungan dengan minyak akan bermuatan sejenis, sedangkan lapisan berikutnya mempunyai muatan yang berlawanan dengan lapisan di depannya. “seolah-olah tiap partikel minyak dilindungi oleh 2 benteng lapisan listrik yang saling berlawanan”. Benteng tersebut akan menolak setiap usaha dari partikel minyak yang akan mengadakan penggabungan menjadi satu molekul besar. Karena susunan listrik yang menyelubungi setiap partikel minyak mempunyai susunan yang sama . Dengan demikian antara sesama partikel akan tolak menolak.

Biasanya dalam suatu sistem emulsi tertentu lebih dari satu teori emulsifiaksi diterapkan dan berperan dalam menjelaskan pembentukan dan stabilitas emulsi tersebut. Misalnya, tegangan antar muka berperan dalam pembentukan awal emulsi, tetapi pembentukan suatu baji pelindung dari molekul-molekul atau film dari zat pengemulsi penting untuk stabilitas emulsi selanjutnya

I.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana cara membuat sediaan emulsi?

2. Bagaimana ketidak stabilan sediaan emulsi?

3. Bahan-bahan apa yang digunakan dalam pembuatan sediaan emulsi?

4. Apa sifat-sifat fisika dari sediaan emulsi?

5. Bagaimana sifat-sifat fisika dari sediaan emulsi

I.3 Tujuan

1. Mengetahui cara membuat sediaan emulsi

2. Mengetahui ketidak stabilan sediaan emulsi

3. Menjelaskan bahan bahan yang digunakan dalam membuat sediaan emulsi

4. Melakukan uji sifat-sifat fisika pada sediaan emulsi

5. Menjelaskan sifat sifat fisika dari sediaan emulsi

II. PEMBAHASAN

II.1 Pengertian Emulsi

Emulsi adalah suatu sediaan yang mengandung dua zat yang tidak dapat bercampur, biasanya minyak dan air yang stabilitasnya dapat dipertahankan dengan emulgator atau zat pengelmusi. Emulsi yang mempunyai fase dalam minyak dan fase luar air disebut emulsi minyak-dalam-air dan biasanya diberi tanda sebagai emulsi “M/A”. Sebaliknya emulsi yang mempunyai fase dalam air dan fase luar minyak disebut emulsi air-dalam-minyak dan diberi tanda sebagai emulsi “A/M”.

Emulsi dapat didefinisikan sebagai suatu sediaan yang mengandung bahan obat cair atau larutan obat, terdispersi dalam cairan pembawa, distabilkan dengan emulgator atau surfaktan yang cocok. (Depkes RI, 1979)

Emulsi adalah suatu dispersi dimana fase terdispersi terdiri dari bulatan-bulatan kecil zat cair yang terdistribusi keseluruh pembawa yang tidak bercampur. (Ansel, 1989)

II.2 Cara Membuat Sediaan Emulsi

Klasifikasi Tipe Emulsi

Suatu emulsi terdiri dari dua fase yang bersifat kontradiktif, tetapi dengan adanya zat pengemulsi maka salah satu fase tersebut terdispersi dalam fase lainnya. Pada umumnya dikenal dua tipe emulsi yaitu :

a) Tipe A/M (Air/Minyak) atau W/O (Water/Oil)

Emulsi ini mengandung air yang merupakan fase internalnya dan minyak merupakan fase luarnya. Emulsi tipe A/M umumnya mengandung kadar air yang kurang dari 25% dan mengandung sebagian besar fase minyak. Emulsi jenis ini dapat diencerkan atau bercampur dengan minyak, akan tetapi sangat sulit bercampur/dicuci dengan air.

b) Tipe M/A (Minyak/Air) atau O/W (Oil/Water)

Merupakan suatu jenis emulsi yang fase terdispersinya berupa minyak yang terdistribusi dalam bentuk butiran-butiran kecil didalam fase kontinu yang berupa air. Emulsi tipe ini umumnya mengandung kadar air yang lebih dari 31% sehingga emulsi M/A dapat diencerkan atau bercampur dengan air dan sangat mudah dicuci.

Dalam formula pembuatan pembuatan emulsi terdapat zat berkhasiat , terdapat juga dua zat yang tidak bercampur yang mempunyai fase minyak dalam air atau air dalam minyak, biasanya yang stabilitasnya dipertahankan dengan emulgator atau zat pengelmusi. Zat pengemulsi (emulgator) adalah komponen yang ditambahkan untuk mereduksi bergabungnya tetesan dispersi dalam fase kontinu sampai batas yang tidak nyata. Bahan pengemulsi (surfaktan) menstabilkan dengan cara menempati antar permukaan antar tetesan dalam fase eksternal, dan dengan membuat batas fisik disekeliling partikel yang akan berkoalesensi, juga mengurangi tegangan antarmuka antar fase, sehingga meningkatkan proses emulsifikasi selama pencampuran. Penggunaan emulgator biasanya diperlukan 5% – 20% dari berat fase minyak. (Anief, 2004)

Dalam pemilihan emulgator harus memenuhi beberapa syarat yaitu :

a) Emulgator harus dapat campur dengan komponen-komponen lain dalan sediaan.

b) Emulgator tidak boleh mempengaruhi stabilitas dan efek terapeutik dari obat.

c) Emulgator harus stabil, tidak boleh terurai dan tidak toksik.

d) Mempunyai bau, warna, dan rasa yang lemah.

Emulgator dapat dibagi menjadi dua kelompok menurut asalnya, yaitu (Anonim, 1992) :

Emulgator Alam

a. Dari tumbuhan : Gom arab, Tragacant, Agar-agar, Chondrus, emulgator lain – pektin, metilselulose.

b. Dari hewan : Kuning telur, adeps lanae.

c. Dari tanah mineral : Magnesium aluminium silikat, Bentonit.

Emulgator sintetis

a. Anionik misalnya Trietanolamin, Natrium Lauril Sulfat.

b. Kationik misalnya Benzetonium Klorida, Setil Piridivium

c. Nonionik misalnya Span, Tween, Gliseril Monostearat

Cara Pembuatan Emulsi :

a) Metode gom basah (Anief, 2000)

Cara ini dilakukan bila zat pengemulsi yang akan dipakai berupa cairan atau harus dilarutkan terlebih dahulu dalam air seperti kuning telur dan metilselulosa. Metode ini dibuat dengan terlebih dahulu dibuat mucilago yang kental dengan sedikit air lalu ditambah minyak sedikit demi sedikit dengan pengadukan yang kuat, kemudian ditambahkan sisa air dan minyak secara bergantian sambil diaduk sampai volume yang diinginkan.

b) Metode gom kering

Teknik ini merupakan suatu metode kontinental pada pemakaian zat pengemulsi berupa gom kering. Cara ini diawali dengan membuat korpus emulsi dengan mencampur 4 bagian minyak, 2 bagian air dan 1 bagian gom, lalu digerus sampai terbentuk suatu korpus emulsi, kemudian ditambahkan sisa bahan yang lain sedikit demi sedikit sambil diaduk sampai terbentuknya suatu emulsi yang baik.

c) Metode HLB (Hidrofilik Lipofilik Balance)

Cara ini dilakukan apabila emulsi yang dibuat menggunakan suatu surfaktan yang memiliki nilai HLB. Sebelum dilakukan pencampuran terlebih dahulu dilakukan perhitungan harga HLB dari fase internal kemudian dilakukan pemilihan emulgator yang memiliki nilai HLB yang sesuai dengan HLB fase internal. Setelah diperoleh suatu emulgator yang cocok, maka selanjutnya dilakukan pencampuran untuk memperoleh suatu emulsi yang diharapkan. Umumnya emulsi akan berbantuk tipe M/A bila nilai HLB emulgator diantara 9 – 12 dan emulsi tipe A/M bila nilai HLB emulgator diantara 3 – 6.

Alat yang Digunakan dalam Pembuatan Emulsi :

1. Mortir

2. Stamper

3. Botol

4. Mixer – blender

5. Homogeniser

6. Colloid mill

Stabilitas emulsi

Stabilitas suatu emulsi adalah suatu sifat emulsi untuk mempertahankan distribusi halus dan teratur dari fase terdispersi yang terjadi dalam jangka waktu yang panjang. (Voigt. R, 1995)

a) Faktor yang dapat mempengaruhi stabilitas emulsi yaitu :

i. Pengaruh viskositas

Ukuran partikel yang didistribusi partikel menunjukkan peranannya dalam menentukan viskositas emulsi. Umumnya emulsi dengan partikel yang makin halus menunjukkan viskositas yang makin besar dibandingkan dengan emulsi dengan partikel yang lebih kasar. Jadi, emulsi dengan distribusi partikel yang besar memperlihatkan viskositas yang kurang / kecil.

Untuk mendapatkan suatu emulsi yang stabil atau untuk menaikkan stabilitas suatu emulsi dapat dengan cara menambahkan zat-zat yang dapat menaikkan viskositasnya dari fase luar. Bila viskositas fase luar dipertinggi maka akan menghalangi pemisahan emulsi.

ii. Pemakaian alat khusus dalam mencampur emulsi

Dalam pencampuran emulsi dapat dilakukan dengan mortir secara manual dan dengan menggunakan alat pengaduk yang menggunakan tenaga listrik seperti mikser.

Untuk membuat emulsi yang lebih stabil, umumnya proses pengadukannya dilakukan dengan menggunakan alat listrik. Disamping itu penggunaan alat dapat mempercepat distribusi fase internal kedalam fase kontinu dan peluang terbentuknya emulsi yang stabil lebih besar.

iii. Perbandingan optimum fase internal dengan fase kontinuitas

Suatu produk emulsi mempunyai nilai perbandingan fase dalam dan fase luar yang berbeda-beda. Hal tersebut terjadi karena adanya perbedaan jenis bahan yang digunakan ataupun karena adanya perbedaan perlakuan yang diberikan pada setiap bahan emulsi yang digunakan.

Umumnya emulsi yang stabil memiliki nilai range fase dalam antara 40% sampai 60% dari jumlah seluruh bahan emulsi yang digunakan.

Ketidak Stabilan Emulsi

1. Creaming : emulsi terpisah menjadi 2 bagian, di mana salah satu mengandung fase dispersi lebih banyak daripada lapisan lain. Sifatnya reversible, dengan penggojokan perlahan-lahan akan terdispersi kembali.

2. Cracking / Breaking : pecahnya emulsi karena film yang melapisi partikel rusak dan butir minyak menyatu kembali. Sifatnya irreversible, hal ini terjadi karena :

o Peristiwa kimia : penambahan alkohol, perubahan pH, penambahan CaO/CaCl2 exicatus.

o Peristiwa fisika : pemanasan, penyaringan, pendinginan, pengadukan.

3. Inversi : perubahan tipe emulsi A/M menjadi M/A atau sebaliknya.


II.3 Uraian Bahan

III.

METODOLOGI PENELITIAN

III.1 Jenis Penelitian

Penelitian yang dilakukan adalah penelitian eksperimen.

III.2 Waktu dan Tempat Peneliltian

Penelitian dilakukan di Laboratorium Farmasetika dan Laboratorium fisika Akademi Farmasi Putra Indonesia Malang

III.3 Alat dan bahan

1. Alat :

1) Gelas piala (Pyrex)

2) Timbangan analitik (Sartorius)

3) Gelas ukur (Pyrex)

4) Lemari pendingin

5) Objek gelas dan dek gelas

6) Viskometer (Brookfield)

7) Mikroskop mikrometer

8) Waterbath (Memmert)

9) Pengaduk elektrik (Panasonic)

2. Bahan :

1) Vitamin C

2) ....

3) .....

4) ......

5) Aquadest

A. Penyiapan Sampel

Sampel yang digunakan berupa ............................

B. Rancangan Formula

Bahan

Formula

I

II

III

Vitamin C

C. Cara Kerja pembuatan sediaan emulsi .......................

1. Pengujian Pengujian tipe emulsi

a. Metode Daya Hantar Listrik

Emulsi yang telah dibuat dimasukkan kedalam gelas piala, kemudian dihubungkan dengan rangkaian arus listrik. Jika lampu menyala maka tipe emulsi adalah tipe minyak dalam air (M/A). Jika sistem tidak menghantarkan arus listrik atau lampu tidak menyala maka emulsi tersebut tipe A/M.

b. Metode Pengenceran

Emulsi yang telah dibuat dimasukkan dalam gelas piala, kemudian diencerkan dengan air. Jika emulsi dapat diencerkan maka tipe emulsi adalah minyak dalam air (M/A) sebaliknya jika tidak dapat diencerkan maka tipe emulsinya A/M.

2. Inversi fase

Sediaan yang telah diberi kondisi penyimpanan dipercepat yaitu penyimpanan pada suhu 5°C dan 35°C masing-masing selama 12 jam sebanyak 10 siklus kemudian diuji kembali tipe emulsinya dengan metode pengenceran dan metode hantaran listrik.


3. Tes organoleptik

Tes organoleptik meliputi pengamatan perubahan warna, bau, dan rasa dari sediaan emulsi selama kondisi penyimpanan dipercepat yaitu penyimpanan pada suhu 5°C dan 35°C masing-masing selama 12 jam sebanyak 10 siklus.

4. Pengukuran viskositas

Pengukuran viskositas dilakukan terhadap emulsi. Pengukuran viskositas dilakukan dengan viskometer Brookfield pada 50 putaran permenit (RPM) dengan “spindel” no.

0 komentar:

Post a Comment

Mau?

afferinte.com

MERAIH RUPIAH KLIK INI

Join in Here