RSS Feed

Monday, September 27, 2010

Absorsi

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Farmakologi merupakan sifat dari mekanisme kerja obat pada sistem tubuh termasuk menentukan toksisitasnya. Untuk mencapai efek farmakologis seperti yang di inginkan, obat dapat diberikan dengan berbagai cara. Diantaranya melalui oral, subkutan, intra muskular, intra peritoneal, rektal, dan intra vena. Masing-masing cara pemberian ini memiliki keuntungan dan manfaat tertentu. Suatu senyawa atau obat mungkin efektif jika diberikan melalui cara lain. Perbedaan ini salah satunya dapat disebahkan oleh adanya perbedaan dalam hal kecepatan absorpsi dan berbagai cara pemberian tersebut, yang selanjutnya akan berpengaruh terhadap efek atau aktivitas farmakologinya.
Jalur pemakaian obat tersebut harus ditentukan dan ditetapkan petunjuk tentang dosis-dosis yang dianjurkan bagi pasien dalam berbagai umur, berat dan status penyakitnya serta teknik penggunaannya atau petunjuk pemakaiannya.
Bentuk sediaan dan cara pemberian merupakan penentu dalam memaksimalkan proses absorbsi obat oleh tubuh karena keduanya sangat menentukan efek biologis suatu obat seperti absorpsi, kecepatan absorpsi dan bioavailabilitas (total obat yang dapat diserap), cepat atau lambatnya obat mulai bekerja (onset of action), lamanya obat bekerja (duration of action), intensitas kerja obat, respons farmakologik yang dicapai serta dosis yang tepat untuk memberikan respons tertentu
Obat sebaiknya dapat mencapai reseptor kerja yang diinginkan setelah diberikan melalui rute tertentu yang nyaman dan aman seperti suatu obat yang memungkinan diberikan secara intravena dan diedarkan di dalam darah langsung dengan harapan dapat menimbulkan efek yang relatif lebih cepat dan bermanfaat.
Dalam praktikum ini, luminal digunakan sebagai sampel obat agar cepat diketahui efek farmakologinya, sehingga dapat diketahui pernadingan efek farmakologi yang dihasilkan berdasarkan perbedaan cara pemberian obat.


1.2 RUMUSAN MASALAH
a. Bagaimanakah rute pemberian obat untuk mengetahui perbedaan absorpsi obat?
b. Bagaimanakah on set of action dari masing-masing rute pemberian?
c. Bagaimanakah perbedaan kecepatan absorpsi obat berdasarkan data farmakologi sebagai tolak ukur?

1.3 TUJUAN
a. Untuk mengetahui rute pemberian obat untuk mengetahui perbedaan absorpsi obat
b. Untuk mengetahui on set of action dari masing-masing rute pemberian
c. Untuk mengetahui perbedaan kecepatan absorpsi obat berdasarkan data farmakologi sebagai tolak ukur


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA


2.1 RUTE PENGGUNAAN OBAT
Memilih rute penggunaan obat tergantung dari tujuan terapi, sifat obatnya serta kondisi pasien. Oleh sebab itu perlu mempertimbangkan masalah-masalah seperti berikut:
a. Tujuan terapi menghendaki efek lokal atau efek sistemik
b. Apakah kerja awal obat yang dikehendaki itu cepat atau masa kerjanya lama
c. Stabilitas obat di dalam lambung atau usus
d. Keamanan relatif dalam penggunaan melalui bermacam-macam rute
e. Rute yang tepat dan menyenangkan bagi pasien dan dokter
f. Harga obat yang relatif ekonomis dalam penyediaan obat melalui bermacam-macam rute
g. Kemampuan pasien menelan obat melalui oral
Bentuk sediaan yang diberikan akan mempengaruhi kecepatan dan besarnya obat yang diabsorpsi, dengan demikian akan mempengaruhi pula kegunaan dan efek terapi obat. Bentuk sediaan obat dapat member efek obat secara local atau sistemik. Efek sistemik diperoleh jika obat beredar ke seluruh tubuh melalui peredaran darah, sedang efek lokal adalah efek obat yang bekerja setempat misalnya salep (Anief, 1990).
Efek sistemik dapat diperoleh dengan cara:
a. Oral melalui saluran gastrointestinal atau rectal
b. Parenteral dengan cara intravena, intra muskuler dan subkutan
c. Inhalasi langsung ke dalam paru-paru
Efek local dapat diperoleh dengan cara:
a. Intaokular, intranasal, aural, dengan jalan diteteskan ada mata, hidung, telinga
b. Intrarespiratoral, berupa gas masuk paru-paru
c. Rektal, uretral dan vaginal, dengan jalan dimasukkan ke dalam dubur, saluran kencing dan kemaluan wanita, obat meleleh atau larut pada keringat badan atau larut dalam cairan badan
Rute penggunaan obat dapat dengan cara:
a. Melalui rute oral
b. Melalui rute parenteral
c. Melalui rute inhalasi
d. Melalui rute membran mukosa seperti mata, hidung, telinga, vagina dan sebagainya
e. Melalui rute kulit
(Anief, 1990)
Daftar 1. Rute penggunaan obat
NO. ISTILAH LETAK MASUK DAN JALAN ABSORPSI OBAT
1. Per oral Melalui mulut masuk saluran intestinal (lambung), penyerapan obat melalui membrane mukosa pada lambung dan usus member efek sistemik.
2. Sublingual Dimasukkan di bawah lidah, penyerapan obat melalui membrane mukosa, member efek sistemik.
3. Parenteral atau injeksi Melalui selain jalan lambung dengan merobek beberapa jaringan.
a. Intravena Masuk pembuluh darah balik (vena), member efek sistemik.
b. intrakardial Menembus jantung, memberi efek sistemik.
c. Intakutan Menembus kulit, memberi efek sistemik.
d. Subkutan Di bawah kulit, memberi efek sistemik.
e. Intramuskular Menembus otot daging, memberi efek sistemik.
4. Intaokular Diteteskan pada mata, memberi efek lokal.
5. Intranasal Diteteskan pada lubang hidung, memberi efek lokal.
6. Aural Diteteskan pada lubang telinga, memberi efek lokal.
7. Intrarespiratoral Inhalasi berupa gas masuk paru-paru, member efek lokal.
8. Rektal Dimasukkan ke dalam dubur, dapat member efek local maupun sistemik.
9. Vaginal Dimasukkan ke dalam lubang kemaluan wanita, memberi efek lokal.
10. Uretral Dimasukkan ke dalam saluran kencing, member efek lokal.
(Anief, 1990)
Cara-cara pemberian obat untuk mendapatkan efek terapeutik yang sesuai adalah sebagai berikut:
Cara atau bentuk sediaan parenteral
a. Intravena (IV) (Tidak ada fase absorpsi, obat langsung masuk ke dalam vena, “onset of action” cepat, efisien, bioavailabilitas 100 %, baik untuk obat yang menyebabkan iritasi kalau diberikan dengan cara lain, biasanya berupa infus kontinu untuk obat yang waktu-paruhnya (t1/2) pendek) (Joenoes, 2002).
b. Intramuskular (IM) (“Onset of action” bervariasi, berupa larutan dalam air yang lebih cepat diabsorpsi daripada obat berupa larutan dalam minyak, dan juga obat dalam sediaan suspensi, kemudian memiliki kecepatan penyerapan obat yang sangat tergantung pada besar kecilnya partikel yang tersuspensi: semakin kecil partikel, semakin cepat proses absorpsi) (Joenoes, 2002).
c. Subkutan (SC) (“Onset of action” lebih cepat daripada sediaan suspensi, determinan dari kecepatan absorpsi ialah total luas permukaan dimana terjadi penyerapan, menyebabkan konstriksi pembuluh darah lokal sehingga difusi obat tertahan/diperlama, obat dapat dipercepat dengan menambahkan hyaluronidase, suatu enzim yang memecah mukopolisakarida dari matriks jaringan) (Joenoes, 2002).
d. Intratekal (berkemampuan untuk mempercepat efek obat setempat pada selaput otak atau sumbu serebrospinal, seperti pengobatan infeksi SSP yang akut) (Anonim, 1995).
e. Intraperitonel (IP) tidak dilakukan pada manusia karena bahaya (Anonim, 1995).
Pemberian obat per oral merupakan pemberian obat paling umum dilakukan karena relatif mudah dan praktis serta murah. Kerugiannya ialah banyak faktor dapat mempengaruhi bioavailabilitasnya (faktor obat, faktor penderita, interaksi dalam absorpsi di saluran cerna) (Ansel, 1989).
Intinya absorpsi dari obat mempunyai sifat-sifat tersendiri. Beberapa diantaranya dapat diabsorpsi dengan baik pada suatu cara penggunaan, sedangkan yang lainnya tidak (Ansel, 1989).
2.2 FASE FARMAKOKINETIK
Farmakokinetik adalah ilmu yang mempelajari absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi obat dan secara singkat dimaksudkan pengaruh tubuh terhadap obat. Fase farmakokinetik adalah perjalanan obat mulai titik masuk obat ke dalam badan hingga mencapai tempat aksinya. Selama perjalanan obat akan banyak memasuki membran. Dari ciri-ciri struktur sel dan cara-cara zat pencerna dapat diketahui sifat-sifat fisika kimia obat yang dikehendaki melalui membran. Pengetahun ini dapat digunakan untuk mengusahakan hubungan aktivitas biologi dari seri molekul terhadap struktur kimia (Anief, 1990).
Untuk memberikan efek terapi atau farmakologi, oabt harus mencapai tempat aksi dalam konsentrasi yang cukup agar dapat menimbulkan respon. Ciri-ciri obat akan hilang bila obat meninggalkan tempat aksi baik dala keadaan utuh atau setelah mengalami metabolisme dan proses eksresi (Anief, 1990).
Proses absorpsi, distribusi, metabolism dan eksresi (ADME) biasanya berjalan bersama waktunya secara langsung atau tak langsung biasanya meliputi perjalanan obat melintasi sel membran. Sebelum mencapai konsentrasi efektif pada tempat aksi, obat harus melakukan penetrasi beberapa rintangan (Anief, 1990).

2.3 ABSORPSI
Obat akan masuk badan bila penggunaan obat secara enteral atau parenteral. Yang dimaksud penggunaan obat secara enteral adalah penggunaan obat melalui mulut, di bawah lidah atau melalui dubur. Sedang penggunaan obat secara parenteral adalah secara intravena, intramuscular dan subkutan, selain itu penggunaan obat secara inhalasi, penggunaan obat secara topical (pada kulit) dan mata (Anief, 1990).
Sel adalah merupakankompleks bangunan dasar semua bentuk yang dapat bebas dari kehidupan. Dapat pula dikatakan merupakan unit aktivitas biologic yang mengandung membrane semi permeable dan mampu berkembang biak sendiri dalam suasana bebas dari sistem kehidupan yang lain (Anief, 1990).
Bentuk kehidupan yang rendah di bumi mengandung sel-sel yang sederhana yang mampu menjalankan semua fungsi esensial misalkan mencerna makanan, mengeluarkan zat-zat sisa yang tak berguna dan berkembang, suatu hal yang perlu untuk memelihara kehidupan (Anief, 1990).
Proses absorpsi terjadi, bila obat melintasi paling tidak satu membrane sel dan kemudahan absorpsi oabta akan member gambaran kadar obat yang mencapai pada jaringan dan cairan tubuh. Oleh karena itu perlu diketahui mengnai struktur membrane sel dan mekanisme fisika kimia yang terjadi dalam perjalanan obat melintasi membrane dengan bersama-sama faktor yang mempengaruhi proses ini, yang meliputi baik absorpsi, distribusi, metabolism dan ekskresi termasuk perjalanan obat beserta produk pecahanannya melintasi membran sel (Anief, 1990).
a. Struktur membrane sel
Terdiri dari sel-sel hidup, yang dikelilingi membrane yang berfungsi memelihara penyatupaduan sel dan mengatur pemindahan nutrisi, produk tak terpakai dan substansi yang diperlukan ked an dari sitoplasma. Membran sel terdiri dari 3 elemen yang kemungkinan saling berhubungan yaitu :
a. Membrane plasma
b. Retikulum endoplasama, dan
c. Membran inti
Membran plasma tersusun oleh protein, lipid dan karbohidrat. Membrane plasma tidak hanya mengelilingi dan merancang sel, juga mengandung suatu sisi yang berinteraksi dengan hormone dan neurotransmitter. Dalam membrane terdapat 2 golongan pokok lipid yaitu :
- Kolesterol dan
- Fosfolipid ionic.
Mereka mempunyai sifat-sifat umum amfipatik. Dalam molekul lipid terdapat bagian yang bersifat hidrofil (lebih suka air) sedang pada bagian lain hidrofobik (lebih suka minyak). Gugus hidroksil dari cholesterol bersifat hidrofil dan gugus kerangka karbon adalah hidrofob. Struktur dan penampilan protein adalah sangat kurang homogen.
Karbohidrat mengisi struktur membrane paling sedikit dan tidak tampak sebagai struktur bebas tapi terikat dengan lipid atau protein sebagai glikolipid dan glikoprotein. Membrane sel adalah semipermeabel dengan tebal 8 cm. Ada tiga tipe membrane sel badan :
- Membrane kulit terbentuk oleh bebrapa lapis dari sel.
- Membran intestine terdiri lapis sel tunggal.
- Membran yang kurang tebalnya dari satu sel seperti membrane sel tunggal.
Perjalanan obat melintasi ketiga tipe membrane adalah sama. Kecepatan bermacam-macam zat yang memasuki sel adalah sebanding dengan distribusi zat tersebut diantara lemak dan air. Zat yang larut dalam lemak akan masuk sel lebih cepat dan sel-sel itu dikelilingi lapisan zat tipis seperti lipid yang tercelup dalam saluran kecil yang terisi air. Membran sel terdiri dari lapisan bimolekuler fosfolipid yang diliputi matriks cairan sentral. Ujung molekul fofolipid membentuk lapisan polar kontinyu baik bagian dalam maupun bagian luar dari membrane sel. Sebaliknya rantai panjang hidrofobik dari molekul fosfolipid memanjang kedalam inti sentral dari membrane. Karena rantai ini dalam keadaan berubah terus menerus dalam sel hidup maka matriks dapat dipandang terdiri dari larutan cairan lipid. Protein globulan melekat pada matriks membrane dan sering memanjang melalui tiga lapisan membrane. Pori-pori atau saluran yang dilalui molekul yang larut dalam air (seperti alcohol atau air sendiri) barangkali dapat diasosiasikan dengan protein ini (Anief, 1990).

b. Cara pemindahan zat melalui sel membrane
1. Difusi pasif ialah perjalanan zat langung melalui lipid atau saluran berair.
2. Pengangkutan aktif (transport aktif) atau disebut difusi fasilitas yaitu pemindahan molekul polar dengan media alat pengangkut.
3. Pinositosis merupakan invaginasi dari sel membrane yang menelan tetesan cairan ekstraseluler hingga memungkinkan solute dapat diangkut ke dalam hasil vakulola berair.
4. Persorpsi yaitu filtrasi atau difusi berair dan akhirnya terjadi difusi ion.

Transfer pasif dapat dibedakan dengan :
1. Filtrasi ialah perjalanan zat melalui pori-pori kecil membrane misalnya dinding kapiler. Filtrasi terjadi untuk zat yang molekulnya lebih kecil dari pori-pori.
2. Difusi ialah peristiwa zat melarut dalam lapisan lemak membrane sel. Zat lipofil lebih lancer jalannya daripada zat hidrofil seperti ion anorganik kecuali ion Na+ dan Cl- sangat mudah melintasi membrane karena kecil.

c. Difusi pasif
Kebanyakan obat dipindahkan melalui membrane sel dengan difusi pasif dari kadar tinggi ke yang rendah. Transfer pasif mengikuti hokum Fick.
dc/dt = - h  C = - k (C1 – C2)
dc/dt = kecepatan difusi melalui membrane
- C = perbedaan kadar obat antara masing-masing sisi membrane
C1 dan C2= kadar obat pada tiap sisi

Dapat pula dinyatakan lain dengan :
a. Kecepatan difusi = (konstante permeabilitas) x (luas permukaan) x (perbedaan kadar)
b. Konstante permeabilitas = konstante difusi x koefisien partisi
tebal membrane
Bila luas permukaan membrane menjadi dua kali lebih besar maka kecepatan absorbsi akan naik dua kali, juga bila selisih kadar obat pada kedua sisi membrane (kadar gradien) makin besar maka kecepatan difusi obat melalui membrane akan menjadi besar. Tetapi banyak obat melalui membrane secara cepat sedangkan yang lain adalah lambat. Perbedaan kemudahan obat berjalan melalui membrane dinyatakan sebagai konstante permeabilitas dan tergantung pada molekul obat dan sel membrane. Sumber variasi yang terutama dalam persamaan (b) adalah koefisien partisi obat yaitu perbandingan kelarutan obat dalam membrane lipid dan lingkungan berair.
Obat yang larut dalam lipid mempunyai konstanta permeabilitas yang tinggi akibatnya akan menembus membrane lebih mudah. Sebaliknya senyawa yang terionisasi sulit larut dalam lipid. Rantai panjang hidrokarbon membrane fosfolipid menaikkan kelarutan molekul obat dan menggabungkan gugus hidrokarbon dengan ari (Van der Waals dan kekuatan hidrofobik adalah cocok) dan perlu dinyatakan bahwa ester fosfatidil juga memiliki sifat dipolar karena adanya gugus C-O dan C=O. Hal ini akan meningkatkan ikatan dipole karena distribusi electron yang tidak sama. Keadaan tersebut memberi kesempatan kelarutan molekul kovalen dalam lipid yang juga memiliki sifat dipolar yang tetap bersifat nonionic. Hal ini menjelaskan mengapa menaikkan kelarutan zat tersebut dan sebab itu penetrasi pada membrane sel dapat dipengaruhi dengan memasukkan substituent elektro negative dalam molekul netral. Jadi gugus C-O C-S dan C- halogen dapat menaikkan dipole-dipole dengan struktur membrane sel, yang membantu difusi pasif ke dalam sel (Anief, 1990).

d. Kelarutan dalam lipid
Seperti diketahui membrane sel dapat dianggap sebagai lapisan rangkap dua dari bahan protein lipid bertaburkan pori-pori yang terisi air. Oleh karena itu dapat diharapkan bila zat yang larut dalam lipid akan melintasi membrane dengan cara melarut dalam lipid dan berdifusi melintasi lapisan-lapisan lipid.
Kemampuan zat melarut dalam lipid dapat diukur dengan koefisien partisi antara fase berair dan fase tak berair yang tidak dapat campur seperti noktanol, kloroform. Pengaruh koefisien partisi obat terhadap kemampuan melintasi membrane bilogik dapat ditunjukkan dengan memperbandingkan koefisien partisi dari beberapa derivate senyawa yang larut dalam lipid dengan kemampuan melintas sel membrane. Terlihat bahwa permeabilitas membrane terhadap tiap anggota dari seri senyawa tersebut berbanding langsung dengan koefisien partisi. Kenaikan BM dari anggota seri mempunyai efek yang dapatdiabaikan, hal ini berbeda terhadap zat yang berdifusi melalui saluran berair dimana ukuran partikel adalah penting.
Umumnya makin tinggi nilai koefisien partisi makin cepat obat dapat dipindahkan melintasi membran sel (Anief, 1990).

e. Pengaruh pKa dan pH
Kebanyakan obat adalah elektrolit lemah dan berdisosiasi parsial dalam larutan. Molekul yang tak terdisosiasi dapat larut dalam lipid sedangkan ion tak larut. Karena itu konstante disosiasi obat ikut berperan dalam penentuan kemampuan obat melintasi membrane sel dan ini akan berpengaruh puka pada pH lingkungan. Hubungan antara konstante disosiasi, pH medium dan kelarutan obat dalam lemak sering menentukan sifat absorbsinya dan menyusun teori partisi pH dan absorbs obat. Konstante disosiasi asam dan basa sering dinyatakan dengan pKa (-log konstante disosiasi asam). Hubungan antar pKa dan pH dan besarnya ionisasi telah disusun dalam persamaan oleh Henderson-Hasselback.

Log fti/fi = pKa – pH untuk asam
Log fi/fii = pKa – pH untuk basa
Fti = fraksi obat yang tak terionisasi
Fi = fraksi obat yang terionisasi

Larutan asam lemah seperti aspirin dengan pKa = 3,5 dalam perut dengan pH 1 akan lebig dari 99% dalam bentuk tak terionisasi, karena bentuk tak terionisasi aspirin adalah larut dalam lipid maka obat akan cepat diabsorbsi dalam perut. Umumnya obat berupa asam lemak diabsorbsi dalam perut karena pH rendah obat tersebut dalam keadaan tak terdisosiasi. Sedangkan obat yang sedikit diarbsorbsi dalam perut dapat dijelaskan sebagai berikut : misalkan larutan kodein (pKa = 8) dalam perut hanya 1 molekul dalam sejuta dalam keadaan tak terionisasi . Kebanyakan obat bersifat basa akan bisa terionisasi dalam asam perut, sehingga praktis tidak diabsorbsi. Tetapi basa lemah (pKa = 2,5) seperti antipirin mungkin dapat diserap cukup besar diperut sebab nyata tidak terionisasi meskipun dalam lingkungan asam kuat. Absorbsi kelompok obat basa lemah adalah akan naik apabila pH larutan naik. Absorbsi dari semua obat melalui oral berupa asam lemah atau basa lemah akan ba]erjalan lebih cepat dalam usus proximal dari pada dalam perut.
Pada pH 7 aspirin hanya 0,1% dalam keadaan tidak terionisasi, meskipun demikian aspirin dapat diabsorbsi baik dari usus kecil bila diberikan pada laki-laki secara oral. Asam dan basa kuat tertentu terionisasi pada pH yang luas dan mempunyai kelarutan dalam lipid yang rendah. Oleh karena itu perjalanan obat melintasi membrane sel adalah agak lemah dan ini terlihat dalam absorbsinya yang lemah dari saluran gastrointestinal (Anief, 1990).

f. Pemindahan dengan pertolongan pembawa
Merupakan transport aktif dan memerlukan pembawa, enersi dan enzim spesifik dari sel. Beberapa zat meskipun polar dan kelarutannya dalam lipid rendah ternyata penetrasinya melalui membrane lebih cepat dari pada yang diharapkan. Ada dugaan terjadi difusi pasif melalui rintangan lipoidal, ternyata melibatkan system transport melalui pembawa khusus. Pembawa ini dianggap sebagai komponen membrane yang mampu membentuk kompleks dengan zat yang akan diangkut. Kompleks bergerak melintasi membrane dan melepaskan substract pada sisi lain. Sifat dari system transport denagn pertolongan pembawa untuk konsentrasi tinggi dari zat yang akan diangkut membuat jenuh pembawa. Efek ini membatasi jumlah substrat yang dapatt diangkut. Hal ini berbeda dengan proses difusi pasif melintasi membrane lipid atau melalui pori-pori dimana jumlah yang diangkut naik sebanding dengan konsentrasinya.
Meskipun sebagian kecil obat mengalami transport aktif, mekanisme ini tetap penting untuk memindahkan metabolit. Dalam transport aktif substrat dibawa melalui membrane berlawanan dengan kadar gradient dan melibatkan pengeluaran enersi metabolic. Pembawa ini dapat dijenuhkan, tetapi karena mempunyai kelompok kekhususan maka dapat dihambat secar kompetitif oleh substrat yang lain. Transport aktif ini memerlukan pengeluaran enersi oleh karena itu proses ini akan dipengaruhi oleh penghambat metabolic seperti 2,4 dinitrofenol atau penurunan suhu. Mekanisme transport aktif terjadi disaluran gastrointestinal (misalkan asam-asam amino dan mungkin Metildopa) dalam tubuh ginjal dan melintasi membrane yang memisahkan komponen cairan ekstrakseluler dari intraseluler pada darah-otak dan sawar plasenta. Zat yang diresorpsi dengan proses aktif misalnya: glukosa, asam amino, asam lemak, vitamin B1,B2, dan B12, garam empedu, besi dan lain-lain (Anief, 1990).

g. Pinositosis
Suatu istilah yang mengambarkan pengambilan substansi oleh suatu proses sama dengan fagositosis, Pinositosis merupakan proses aktif.
Mekanisme pinositosis adalah sebagai berikut: setelah partikel diabsorbsi sel membran, membran akan menginvaginasi dan bagian ivaginasi pecah dan lepas dari permukaan sel dan membentuk gelembung pinositis.
Fagositosa merupakan proses aktif dan skema proses fagositosa adalah sebagai berikut: Partikel diabsorbsi diatas membran sel dan sel tumbuh seperti polong disekitar partikel dan meliputi partikel. Akhirnya terbentuk gelembung fagositik lalu terjadi penetrasi ke dalam sitoplasma yang lebih dalam. Perbedaan pokok antara fagositosa dan pinositosa yaitu salah satu skala gelembung fagositik lebih besar dari gelembung pinositik.
Molekul zat yang besar diabsorbsi secara fagositosa dan pinositosa. Pada invaginasi, secara mikroskopik terlihat suatu membrane sel menelan tetes air dari cairan ekstraseluler dan molekul solute dibawa ke dalam vaknola yang terjadi. Meskipun proses ini penting dalam absorpsi molekul besar seperti protein dan asam nukleat, tetapi tidak begitu penting dalam pengangkutan obat melalui membrane sel, kecuali dalam kasus penggunaan vaksin secara oral. Sekarang telah diusahakan pengaruh memasukkan obat ke dalam liposoma, yang secara selektif mampu melakukan pinositosis (Anief, 1990).

h. Persorpsi
Telah diketahui bahwa partikel dalam batas ukuran mikrometer (amilum) dapat melalui dinding usus secara langsung masuk limfe atau sirkulasi portal. Tampak pemasukan tersebut melalui persimpangan jalan besar sekitar sel usus bentuk piala. Proses absorbsi obat melalui gastrointestinal ini masih perlu dievaluasi (Anief, 1990).

i. Filtrasi atau difusi berair.
Zat yang larut dalam air dapat segera berdifusi melalui saluran berair atau pori-pori membran sel bagi zat dengan berat molekul tidak terlalu tinggi. Proses ini merupakan tarikan pelarut dan kecepatan difusinya mengikuti hukum Fick pertama (Anief, 1990).

j. Difusi ion.
Dalam lipid ion tidak larut tetapi seperti molekul non polar yang larut dalam air mereka dapat berdifusi melalui membran karena adanya perbedaan kadar diantara kedua sisi membran (kadar gradien) dan berat molekulnya tidak terlalu tinggi. Bila membran sel polar sisi yang satu bermuatan positif dan yang lain negatif maka ion positif dalam larutan berair akan terdorong melalui membran dari yang positif ke sisi negatif. Luasnya proses ini tergantung pada perbedaan potensial yang melintasi membran. Pada kejadian anion kontak dengan permukaan bermuatan negatif akan terdorong melintasi membran pada sisi yang positif. Perjalanan ion pada proses tersebut tidak memerlukan perbedaan kadar dari ion yang berdifusi pada kedua sisi membran (Anief, 1990).

k. Sawar darah otak.
Membran yang pailng penting bertemu dengan obat yang tempat aksinya dalam sistem urat syaraf sentral adalah sawar darah-otak. Otak dilindungi terhadap setiap serbuan dari semua bahan dalam aliran darah badan. Tempat sawar ini terpusat di sekitar kapiler dalam sistem sirkulasi di otak. Umumnya kapiler jaringan non-neuronal bada adalah relatif mudah ditembus oleh sejumlah ion dan nutrien dan diduga mereka mengandung pori-pori yang terisi air yang lebarnya paling tidak 10nm. Sebaliknya kapiler otak bersifat jauh kurang permeabel dan setiap pori-pori yang ada lebarnya kyrang dari 1 nm. Selanjutnya kapiler diotak tidak menunjukkan pinositosis dan mereka mempunyai kapasitas berasimilasi molekul yang jauh berkurang (Anief, 1990).
l. Daftar2. Proses absorpsi
PROSES MACAM ZAT YANG BERGERAK KETERANGAN
Proses fisika
a. Difusi
Setiap zat terlarut
Partikel kecil, kecepatan berbanding terhadap perbedaan kadar melintang membrane
b. Osmosis (difusi air) Air Kecepatan dan arahnya ditentukan oleh konsentrasi solute dan diperlukan membrane selektif
c. Filtrasi Semua zat kecil, cukup melalui membrane Penyebab kekuatan adalah tekanan dan membrane bekerja sebagai saringan
Proses aktif
a. Transpor aktif
Ion, molekul lebih besar, gula, asam amino
Memerlukan pembawa, energy, enzim semua berasal dari sel dan diperlukan membrane, dapat terjadi berlawanan perbedaan kadar
b. Pinositosis Air dan molekul besar seperti protein dan lipid Tenggelam dalam membrane. Suatu metode untuk masuknya molekul sangat besar seperti protein, hormone dalam sel
c. Fagositosis Zat tertentu ditelan Melindungi dari penyerbuan bakteri dan membebaskan badan dari sisa sel, prosesnya sama dengan pinositosis
(Anief, 1990)

m. Faktor-faktor yang mempengaruhi absorpsi
i. Kelarutan obat
ii. Kemampuan obat difusi melintasi membrane sel
iii. Kadar obat
iv. Sirkulasi darah pada tempat absorpsi
v. Luas permukaan kontak obat
vi. Bentuk sediaan obat
vii. Rute penggunaan obat
Agar dapat diabsorpsi obat harus dalam larutan. Obat yang diberikan dalam larutan akan lebih cepat diabsorpsi daripada yang harus larut dulu dalam cairan badan sebelum diabsorpsi. Obat yang sukar sekali larut akan sukar diabsorpsi dari larutan gastrointestinal. Makin tinggi kadar obat dalam larutan akan makin cepat obat diabsorpsi. Pada letak absorpsi yang mengandung lebih banyak pembuluh darah, maka absorpsi obat akan lebih cepat dan lebih banyak. Untuk memperlambta absorpsi obat dapat dilakukan dengan mempersempit pembuluh darah (vasokonstriksi), sebagai contoh injeksi anestesi local ditambah adrenalin yang menyebabkan vasokonstriksi dan efek memperlamba dimaksudkan untuk member efek anestesi yang lama.
Pada pasien yang mengalami shock sirkulasi darah menjadi jelek dan mengakibatkan hambatan bagi obat dalam mencapai tempat aksi dan berakibat kerja awal efek obat akan diperlambat.
Bagian badan yang mempunyai struktur permukaan yang luas, obat akan cepat diabsorpsi misalkan absorpsi obat pada endothelium paru-paru, rongga peut dan mukosa usus. Pada usus kecil terdapat banyak villi yang memperluas absorpsi melalui usus kecil jadi lebih cepat disbanding melalui perut.
Kecepatan absorpsi obat tergantung pada kecepatan pelepasan obat dari bahan pembawa bentuk oabt dan juga kelarutan obat dalam cairan badan atau cairan berair. Keceatan pelepasan obat dari bentuk sediaan per oral dapat disusun urutannya sebagai berikut:

1. Larutan dalam air
2. Suspensi
3. Kapsul
4. Tablet
5. Tablet bersalut gula
6. Tablet bersalut enterik

Untuk mempercepat absorpsi dapat dilakuakn dengan cara memperkecil ukuran partikel obat dan untuk memperlambat absorpsi obat dapat dilakukan dengan penggunaan obat bentuk kerja panjang seperti tablet sustained release atau spansul atau pada injeksi dengan menggunakan bentuk suspensi atau emulsi atau obat yang dibuat kurang larut seperti Procain Penicillin G yang kurang larut dibanding dengan Penicillin G sodium yang mudah larut.
Rute cara pemakaian obat dapat mempengaruhi kecepatan absorpsi obat. Penggunaan obat melalui saluran pencernaan (gastrointestinal) terdapat tiga faktor utama yang mempengaruhi absorpsi yaitu :
1. Obat yang berdifusi melintasi pori-pori membran lipoid kebanyakan absorpsi obat terjadi secara difusi melintasib sel membran meskipun obat diabsorpsi dengan pasif. Beberapa obat seperti nonelektrolit, alkohol, obat yang larut dalam lipid akan diabsorpsi melalui mukosa perut, usus keciol dan kolon.
2. Motilitas usus dan waktu pengosongan lambung.
3. Luas permukaan relatif dari lambung dan mukosa usus.

Makanan yang ada didalam perut akan mempengaruhi kecepatan dan besarnya absorbsi. Sebagai contoh pemberian Demethyl chlortetracyclin bersama-sama dengan susu akan banyak mengurangi absorbsi Demethyl chlortetracyclin. Sedang pemberian Griseofulvin dan antibiotik lain disertai dengan pemberian makanan dengan kadar lemak tinggi akan memperbesar absorbsinya.
(Anief, 1990)

2.4 FENOBARBITAL (LUMINAL)
Senyawa hipnotik ini (1912) terutama digunakan pada serangan grand mal dan status epileptikus berdasarkan sifatnya yang dapat memblokir pelepasan muatan listrik di otak. Untuk mengatasi efek hipnotiknya, obat ini dapat dikombinasi dengan kofein. Tidak boleh diberikan pada absences karena justru dapat memperburuknya. (Tjay dan Rahardja, 2006)
a. Karakteristik Bahan Barbiturat / Fenobarbital
Fenobarbital, asam 5,5-fenil-etil barbiturate merupakan senyawa organic pertama yang digunakan dalam pengobatan antikonvulsi. Kerjanya membatasi penjalaran aktivitas bangkitan dan menaikkan ambang rangsang.
(Ganiswara, 1995)
b. Farmakodinamik
Efek utama barbiturate ialah depresi SSP. Semua tingkat depresi dapat dicapai mulai dari sedasi, hypnosis, berbagai tingkat anesthesia, koma, sampai dengan kematian.
Efek hipnotik barbiturate dapat dicapai dalam waktu 20-60 menit dengan dosis hipnotik. Tidurnya merupakan tidur fisiologis, tidak disertai mimpi yang mengganggu.
(Ganiswara, 1995)
c. Farmakokinetik
Barbiturat secara oral diabsorbsi cepat dan sempurna. Bentuk garam natrium lebih cepat diabsorbsi dari bentuk asamnya. Mula kerja bervariasi antara 10-60 meni, bergantung kepada zat serta formula sediaan dan dihambat oleh adanya makanan didalam lambung. Barbiturate didistribusi secara luas dan dapat lewat plasenta, ikatan dengan PP sesuai dengan kelarutannya dalam lemak, thiopental yang terbesar, terikat lebih dari 65%.
Kira-kira 25% fenobarbital dan hamper semua aprobarbital diekskresi kedalam urin dalam bentuk utuh.
(Ganiswara, 1995)

Resorpinya di usus baik (70-90%) dan lebih kurang 50% terikat pada protein; plasma-t ½-nya panjang, lebih kurang 3-4 hari, maka dosisnya dapat diberikan sehari sekaligus. Kurang lebih 50% dipecah menjadi p-hidrokdifenobarbitat yang diekskresikan lewat urin dan hanya 10-30% dalam kedaan utuh.
Efek sampingnya berkaitan dengan efek sedasinya, yakni pusing, mengantuk, ataksia dan pada anak-anak mudah terangsang. Efek samping ini dapat dikurangi dengan penambahan orang-orang lain.
Interaksi: bersifat menginduksi enzim dan antara lain mempercepat penguraian kalsiferol (vitamin D2) dengan kemungkinan timbulnya rachitis pada anak kecil.
Pengunaannya bersama valproat harus hati-hati, karena kadar darah fenobarbital dapat ditingkatkan. Di lain pihak kadar darah fenitoin dan karbamazepin serta efeknya dapat diturunkan oleh fenobarbital.
Dosisnya 1-2 dd 30-125mg, maksimal 400 mg (dalam 2 kali); pada anak-anak 2-12 bulan 4mg/kg berat badan sehari; pada status epilepticus dewasa 200-300mg.
(Tjay dan Rahardja, 2006)

BAB III
METODE PENELITIAN


3.1 LOKASI DAN WAKTU PENELITIAN
Lokasi penelitian ini adalah Laboratorium Farmakologi Akademi Farmasi Putra Indonesia Malang. Waktu penelitian dilaksanakan selama 4 jam, kemudian dilanjutkan sampai ±24 jam untuk melihat waktu mencit tidur dan bangun.

3.2 POPULASI DAN SAMPEL
Populasi dalam penelitian ini adalah tikus mencit putih yang ada di Laboratorium Farmakologi. Sampel yang digunakan yaitu tikus mencit putih berumur 40 – 60 hari dengan berat badan masing – masing 20 gram sebanyak 7 ekor mencit putih di peroleh dari Laboratorium Farmakologi. Sampel dikelompokkan secara acak menjadi 4 kelompok. Yaitu 1 kelompok kontrol dan 3 kelompok perlakuan dengan tiap kelompok terdiri dari 2 ekor mencit putih.

3.3 ALAT DAN BAHAN
a. Alat :
 Timbangan (Ohaus) dengan kapasitas 2610 gram dengan skala terkecil 0,19 untuk menimbang berat badan tikus.
 Timbangan elektrik dengan ketelitian 0,01 gram untuk menimbang Luminal dan Pulvis Gummosus (PGS)
 Kandang tikus (ukuran 50 X 30 cm) atau kardus yang masih bisa di pakai sebanyak 1buah sebagai tempat pemeliharaan tikus.
 Mortir dan stamper untuk membuat suspensi Luminal
 Jarum sonde untuk memasukkan suspensi Luminal melalui oral tikus percobaan.
 Spuit injeksi (0,1-1ml) untuk memasukkan suspensi luminal secara i.p (intra peritonial) dan sub kutan
b. Bahan :
1. Aqua Destilata untuk diminumkan setiap hari.
2. Isolasi warna untuk menandai mencit putih yang akan dipakai untuk praktek.
3. Mencit putih (umur 40 – 60 hari ) berat masing – masing 20 gram.
4. Luminal, diberikan sesuai dosis yang telah ditentukan.
5. Aqua Destilata dan suspending agent Pulvis Gummosus (PGS) untuk membuat suspense Luminal
c. Perhitungan Bahan
1. Membuat suspensi Luminal dengan konsentrasi = 15 mg/ 5ml
Luminal = 15 mg
Pulvis Gummosus = 15 mg (disamakan dengan massa Luminal)
Aquadest ad 5 ml
2. Dosis yang diberikan pada mencit baik secara per oral, intra peritonial maupun sub kutan
Digunakan dosis maksimum sekali minum untuk manusia kemudian dikonversikan untuk 20g mencit
Dosis maksimum untuk manusia sekali minum 300 mg
Dosis untuk mencit = 300mg x 0.0026 = 0.78 mg
 mengambil suspense luminal sebanyak :
15mg/ 5ml = 0.78mg/ X
X = (0.78mg x 5ml) : 15mg = 0.26 ml

3.4 PROSEDUR PENELITIAN
a. Tahap Persiapan.
1. Penentuan dosis Luminal, dosis diambil berdasarkan dosis maksimum sekali minum untuk kemudian dikonversi untuk mencit dengan menggunakan tabel perbandingan luas permukaan tubuh hewan percobaaan untuk konversi dosis manusia dengan berat badan 70kg ke berat badan mencit 20g adalah 0,0026.
2. Memilih hewan uji (mencit putih) sejumlah 7 ekor, umur 2 bulan,berat badan awal 20 gram.
3. Menyiapkan kandang mencit yang bersih (kardus bekas yang masih bisa dipakai).
4. Membuat suspense Luminal 15mg/5ml
b. Tahap Pelaksanaan.
1. Mengelompokkan mencit putih percobaan yang berjumlah 7 ekor menjadi 4 kelompok, yaitu satu kelompok kontrol dan 3 kelompok perlakuan.
2. Masing –masing mencit di timbang dan diberi tanda.
3. Mencit kelompok I (kontrol) tidak diberi apa-apa
4. Mencit kelompok II diberi suspense Luminal secara per oral
5. Mencit kelompok III diberi suspense Luminal secara intra peritoneal (i.p)
6. Mencit kelompok IV diberi suspense Luminal secara sub kutan (s.c)
7. Kemudian diamati perubahan perilaku mencit dari tiap-tiap kelompok selama 24 jam, dan ditentukan on set of action obat dari masing-masing cara pemberian serta duration of action

3.5 PENGUMPULAN DATA
Setelah hewan uji mendapat perlakuan, amati dengan cermat dan catat waktu hilangnya reflek balik badan ditandai dengan hilangnya kemampuan hewan uji untuk membalikan badan dari keadaan terlentang. Hitung onset dan durasi waktu tidur sodium pentobarbital dari masing-masing kelompok percobaan, dan bandingkan hasilnya menggunakan uji statistik "analisa varian pola searah" dengan taraf kepercayaan 95%.

BAB IV
ANALISA DATA

4.1 HASIL PENGAMATAN
Tabel Pengumpulan Data Hasil Percobaan
Perlakuan
(Cara Pemberian) Waktu Pemberian Tingkah Laku On set of action (menit)
Keaktifan Tidur Bangun Ekskresi
Kontrol - Normal 21.00 07.00 BAB, kencing -
Per Oral (p.o) 1 10.12 Normal, pada menit ke-20 mulai lemas 19.30 07.00 BAB, kencing 20’
2 10.09 Normal, pada menit ke-20 mulai lemas 20.00 07.20 BAB, kencing 20’
Intra peritoneal (i.p) 1 10.19 Normal, pada menit ke-29 mulai lemas 11.00
20.30 11.20
08.45 BAB 29’
2 10.21 Normal, pada menit ke-23 mulai lemas 20.10 09.00 BAB, kencing 23’
Sub kutan (s.c) 1 10.17 Normal, pada menit ke-23 mulai lemas 21.00 10.00 BAB, kencing 23’
2 10.18 Normal, pada menit ke-26 mulai lemas 11.39
21.00 11.45
10.30 BAB, kencing 21’

4.2 ANALISA TABEL HASIL PENGAMATAN
a. MENCIT KONTROL
Pada mencit kontrol yang tidak diberi suspense Luminal menunjukkan tingkah laku normal, tidak ada perubahan tingkah laku pada mencit ini.
b. MENCIT YANG DIBERI SUSPENSI LUMINAL SECARA PER ORAL
Pada mencit ke-1. Mencit yang diberi suspense Luminal secara per-oral pada pukul 10.12 WIB ini awalnya normal, namun pada menit ke-20 mulai lemas dan menunjukkan perubahan tingkah laku yang menunjukkan bahwa obat telah bekerja (on set of action).
Pada mencit ke-2 tidak jauh beda pada mencit ke-1, tanda-tanda bahwa obat telah bekerja ditunjukkan pada menit ke-20, pada menit ini mencit terlihat sangat lemah dan diam saja (tidak melakukan aktivitas).
Pemberian suspense secara per-oral memberikan efek hipnotis pada mencit dengan rata-rata on set of action 20 menit setelah pemberian Luminal.
c. MENCIT YANG DIBERI SUSPENSI LUMINAL SECARA INTRA PERITONIAL
Pada mencit ke-1 yang diberi injeksi suspense Luminal secara intra peritonial pada pukul 10.19 WIB menunjukkan perubahan perilaku, mencit garuk-garuk terus terutama di daerah tempat injeksi. Pada menit ke-20 mencit tetap garuk-garuk namun lebih lemas daripada sebelum diberi injeksi dan sesaat setelah diberi injeksi. Pukul 10.48 WIB mencit sudah terlihat lemas sekali, ini menunjukkan bahwa luminal mulai bekerja. Pada pukul 11.00 WIB mencit tidur dan bangun pada pukul 11.20 WIB.
Pada mencit ke-2 diberi injeksi suspense Luminal secara intra peritoneal pada pukul 10.21 WIB. Sama seperti mencit ke-1, pada awal pemberian injeksi, mencit masih terlihat normal seperti sebelum diberi injeksi Luminal. Pada menit ke-20 mencit masih bergerak namun terlihat lebih lemas, dan pada pukul 10.44 mencit sangat lemah dan ini menunjukkan on set of action dari Luminal. Pada menit ke-50 mencit aktif bergerak lagi, namun 5 menit kemudian lemas lagi.
Pemberian suspense Luminal secara intraperitonial pada mencit memberikan efek sedasi pada mencit ke-1 dengan on set of action 29 menit seteh pemberian. Mencit ke-2 tidak mengalami efek sedasi melainkan hipnotis, dengan rata-rata on set of action 25 menit setelah pemberian Luminal.
d. MENCIT YANG DIBERI SUSPENSI LUMINAL SECARA SUB KUTAN
Pada mencit ke-1 yang diberi injeksi suspense Luminal secara sub kutan pada pukul 10.17 WIB menunjukkan perubahan perilaku pada menit ke-20. Tepatnya pada pukul 10.39 WIB mencit terlihat lemas sekali, dan ini dijadikan on set of action dari Luminal. Menit ke-60 mencit mulai aktif lagi namun kemudian lemas lagi.
Pada mencit ke-2 yang diberi injeksi Luminal secara sub kutan apda pukul 10.18 WIB mulai lemas pada menit ke-20 sama seperti mencit ke-1, mencit terlihat sangat lemah, dan pada pukul 11.39 WIB mencit tidur, dan bangun lagi pada pukul 11.45 WIB, waktu saat mencit mulai tidur ini yang digunakan untuk menunjukkan mula kera obat.
Pemberian suspense Luminal secara sub kutan pada mencit ke-1 memberikan efek hipnotis pada menit ke 23 stelah pemberian injeksi Luminal. Mencit ke-2 mengalami efek sedasi dengan on set of action 21 menit setelah pemberian Luminal.

BAB V
PEMBAHASAN

Praktikum kali ini mempalajari tentang pengaruh cara pemberian obat terhadap absorpsi obat dalam tubuh (dalam hal ini pada tubuh hewan uji). Mencit dipilih sebagai hewan uji karena proses metabolisme dalam tubuhnya berlangsung cepat sehingga sangat cocok untuk dijadikan sebagai objek pengamatan.
Pemberian obat pada hewan uji yaitu pertama melalui cara oral, intraperitonial dan subkutan. Dengan cara oral (pemberian obat melalui mulut masuk kesaluran intestinal) digunakan jarum injeksi yang berujung tumpul agar tidak membahayakan bagi hewan uji. Kedua, pemberian obat dilakukan dengan cara intrperitonial yaitu dengan menyuntikkan obat pada rongga perut (cara ini jarang digunakan karena rentan menyebabkan infeksi) . Ketiga, yaitu dengan cara subkutan dengan menyuntikkan obat melalui tengkuk hewan uji tepatnya injeksi dilakukan dibawah kulit.
Dosis obat yang diberikan yaitu 300mg untuk 70 kg manusia kemudian dikonversikan untuk 20g mencit menggunakan hewan uji dengan cara dikalikan 0,0026. Untuk stock suspensi Luminal, pada per oral, intraperitoneal, dan subkutan menggunakan suspensi Luminal dengan konsentrasi 15 mg/5ml atau 3mg/ml. Volume injeksi untuk oral, intraperitoneal dan subkutan adalah sama yaitu 0,26ml. Perhitungan volume injeksi yang diberikan berdasarkan berat badan tiap hewan uji.
Dari hasil pengamatan kelompok-kelompok, diperoleh on set of action yang berbeda. Onset merupakan waktu mulai timbulnya efek setelah pemberian obat. Dari hasil pengamatan mencit yang diberi suspensi Luminal secara per-oral berdasarkan on set of action memiliki waktu yang tercepat , kemudian secara berturut-turut secara sub-kutan kemudian secara intra peritonial. Pada pemberian secara per-oral on set of action tercepat namun efeknya hanya hipnotis, sedangkan pada pemberian secara sub-kutan dan intra peritonial on set of action lebih lambat namun efeknya adalah sedasi.


BAB VI
PENUTUP


5.1 KESIMPULAN
5.2 SARAN

DAFTAR PUSTAKA

Anief, Moh., 1990, Perjalanan dan Nasib Obat dalam Badan, Gadjah Mada University Press: D.I Yogayakarta. 107 halaman
Anonim, 1995, Farmakope Indonesia Edisi,IV, Depkes RI: Jakarta
Ansel, Howard.C., 1989 Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi, Universitas Indonesia Press: Jakarta
Joenoes, Z. N., 2002, Ars Prescribendi Jilid 3, Airlangga University Press: Surabaya
Tjay,Tan Hoan dan K. Rahardja, 2007. Obat-obat Penting, PT Gramedia.:Jakarta. hal 423
Ganiswara, Sulistia G (Ed), 1995, Farmakologi dan Terapi. Edisi IV. Balai Penerbit Falkultas Kedokteran Universitas Indonesia: Jakarta

0 komentar:

Post a Comment

Mau?

afferinte.com

MERAIH RUPIAH KLIK INI

Join in Here